Senin, 20 Desember 2010

SELISIH PANDANG TENTANG UANG DALAM ISLAM

Mata uang mempunyai peranan sangat penting dalam kehidupan umat manusia karena dengan menggunakan uang, manusia dapat  memenuhi kebutuhan hidup serta memperlancar aktivitas kehidupannya.
Keberadaan uang  dalam sebuah perekonomian memberikan arti yang penting, ketidakadilan dari alat ukur yang diakibatkan adanya instabilitas nilai tukar uang akan mengakibatkan perekonomian tidak berjalan pada titik keseimbangan.
Melihat penggunaan uang kertas yang beredar saat ini, secara lahiriah bahan dan bentuk bisa diterima sebagai uang. Namun penggunaannya saat ini banyak menimbulkan masalah dan krisis keuangan di banyak negara. Negara kuat bisa seenaknya mencetak mata uangnya dan melemahkan mata uang negara lain, karena tidak ada beban dan murahnya nilai kertas itu sendiri, hal ini karena tidak ada dasar moneter yang kuat. Sehingga muncul, wacana untuk kembali pada penggunaan emas dan perak (dinar dan dirham).
Secara umum, ada perbedaan pendapat diantara fuqaha tentang keharusan penggunaan dinar dan dirham oleh umat islam sebagai mata uang dalam perkonomian. Pendapat pertama menyatakan bahwa uang adalah bentuk penciptaan dan hanya terbatas pada dinar dan dirham. Artinya, tidak ada bentuk mata uang lain yang boleh dipergunakan selain dinar dan dirham, termasuk juga uang kertas yang beredar saat ini. Karena menurut mereka Allah telah menciptakan emas dan perak sebagai tolok ukur nilai. Sebagai buktinya adalah banyaknya istilah emas dan perak yang disebut dalam Al-Qur’an. Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Ghazali, Ibnu Qudamah, dan Al-Maqrizi. Dikatakan oleh Maqrizi, “Sesungguhnya uang yang menjadi harga barang-barang yang dijual dan nilai pekerjaan adalah hanya emas dan perak saja. Tidak diketahui dalam riwayat yang shahih maupun yang lemah dari umat manapun dan kelompok manusia manapun, bahwa mereka dalam masa lalu dan masa kontemporernya selalu menggunakan uang selain keduanya.”
Pendapat kedua menyatakan bahwa uang adalah masalah terminologi. Maka segala sesuatu yang secara terminologi manusia dapat diterima dan diakui oleh mereka sebagai tolok ukur nilai, maka bisa disebut sebagai uang. Pandangan ini lebih dekat dengan definisi uang yang ada saat ini. Pendapat ini juga menyepakati substansi dari pernyataan Umar r.a sebagai berikut: “Aku ingin menjadikan dirham dari kulit unta” Lalu dikatakan kepadanya, “Jika demikian, unta akan habis” maka dia manahan diri. Hal ini menunjukkan bahwa pemimpin dapat membuat uang dari materi apapun dan dengan bentuk apapun selama dapat merealisasikan kemaslahatan, dan tidak menyalahi aturan syariah. Pendapat kedua ini didukung oleh Imam Malik, Imam Ahmad, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Hazm. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa uang kembali pada terminologi manusia bahwa sesuatu itu adalah uang, dan ia beragam bentuknya sesuai keragaman tradisi dan adat istiadat manusia; dan beliau menafikan adanya uang yang pasti dengan hukum sya’i atau hukum alami (penciptaan). Dalam hal ini uang kertas yang banyak beredar saat ini secara fiqih dapat dinyatakan sebagai uang selama dalam terminologi manusia masih disebut uang.
Perbedaan pendapat ini tidak hanya terkait lahiriah dan fisik dari uang itu sendiri, tapi lebih jauh adalah pada hal-hal yang substansial (misal:posisi zakat dan riba) Hal ini mengingat bahwa uang memiliki peranan yang sangat penting; pelayanan besar yang diberikan oleh uang dalam perkonomian, hubungan yang kuat antara uang dan perekonomian, pengaruh uang yang sangat besar, dan uang merupakan salah satu faktor kekuasaan dan kemandirian ekonomi.
Pendapat kedua merupakan pendapat yang lebih kuat, sehingga para ekonom sepakat bahwa uang adalah masalah terminologi. Mereka berpendapat bahwa uang itu berarti segala sesuatu yang beredar penggunaanya dan terjadi penerimaannya. Dalam hal ini, benda apapun boleh dijadikan sebagai mata uang, namun harus ada beberapa hal yang harus diperhatikan :
Islam melarang setiap hal yang berdampak pada bertambahnya gejolak dalam daya beli uang, dan ketidakstabilan nilainya yang hakiki. Contohnya: larangan perdagangan uang (karena uang adalah alat perdagangan, bukan yang diperdagangkan), dan pengharaman penimbunan uang. Inflasi adalah salah satu contoh menurunnya daya beli uang terhadap barang dan hal ini pernah terjadi pada masa Umar r.a dimana pada saat itu mata uang yang digunakan adalah dinar dan dirham. Artinya tidak ada jaminan bahwa dinar dan dirham akan mencegah terjadinya inflasi. Semua jenis bahan mata uang (emas, perak ataupun kertas) mempunyai potensi menimbulkan inflasi. Tugas negara adalah menjaga kestabilan nilai mata uang tersebut.
Apa yang disebut dengan uang harus diterima dan dipercaya oleh kebanyakan manusia agar fungsi dan nilainya dapat terlindungi. Serta harus diatur dan diterbitkan oleh negara. (AF Consulting)

Kamis, 09 Desember 2010

7 JENIS TRANSAKSI EKONOMI SETAN

1. RIBA
Riba berarti menetapkan bungaatau melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan  dalam Islam.

Riba dengan segala bentuknya adalah haram dan termasuk dosa besar, dengan dasar Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ ulama.
Dalil dari Al-Qur`an di antaranya adalah:
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
(Al-Baqarah: 275)
Juga dalam firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.” (Al-Baqarah: 278-279)
Hadits Abu Hurairah :
“Jauhilah tujuh perkara yang menghancurkan,di antaranya memakan riba.” (Muttafaqun ‘alaih)
Hadits Abu Juhaifah  riwayat Al-Bukhari:
“Semoga Allah melaknat pemakan riba.”(HR. Al-Bukhari)
Dalam hadits Jabir  yang diriwayatkan Al-Imam Muslim, yang dilaknat adalah pemakan riba, pemberi riba, penulis dan dua saksinya, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:
“Mereka itu sama.”

Para ulama sepakat bahwa riba adalah haram dan termasuk dosa besar. Keadaannya seperti yang digambarkan oleh Ibnu Taimiyah  sebagai berikut: “Tidak ada suatu ancaman hukuman atas dosa besar selain syirik yang disebut dalam Al-Qur`an yang lebih dahsyat daripada riba.”


2. GHARAR
Menurut bahasa arab Gharar atau Taghir,  berarti akibat, bencana, bahaya, resiko, ketidakpastian, pertaruhan dan lain-lain. Sebagai istilah dalam fiqih Muamalat taghrir berarti melakukan sesuatu secara membabi buta tanpa pengetahuan yang mencukupi atau mengambil resiko sendiri dari suatu perbuatan yang mengandung resiko tanpa mengetahui dengan persis apa akibatnya atau memasuki arena resiko tanpa memikirkan konsekuensinya.

Dalam ilmu ekonomi Taghrir ini disebut uncertainty (ketidakpastian) atau resiko. Kedua belah pihak sama-sama tidak memiliki kepastian mengenai sesuatu yang di transaksikan.
Dalam syari’at Islam, jual beli gharar ini terlarang. Dengan dasar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang berbunyi.
“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli al-hashah dan jual beli gharar
Dalam sistem jual beli gharar ini terdapat unsur memakan harta orang lain dengan cara batil. Padahal Allah melarang memakan harta orang lain dengan cara batil sebagaimana tersebut dalam firmanNya.
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu..... ” [An-Nisaa : 29]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan, dasar pelarangan jual beli gharar ini adalah larangan Allah dalam Al-Qur’an, yaitu (larangan) memakan harta orang dengan batil. Begitu pula dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau melarang jual beli gharar ini. Pelarangan ini juga dikuatkan dengan pengharaman judi, sebagaimana ada dalam firman Allah.
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” [Al-Maidah : 90]

3. MAYSIR
Secara bahasa Maysir bisa dimaknakan dalam beberapa kalimat : Gampang atau mudah, orang yang kaya dan wajib.
Secara istilah, Maysir adalah setiap Muamalah yang orang masuk kedalamnya dan dia mungkin rugi dan mungkin beruntung.
Ini defenisi Maysir dalam istilah ulama, walaupun sebagian orang mengartikan Maysir ini ke dalam bahasa Indonesia dengan pengertian sempit, yaitu judi. Judi adalah salah satu bentuk Maisir sebab seseorang masuk kedalamnya mungkin menang dan mungkin kalah, mungkin untung dan mungkin rugi. Karena itu sangatlah sempit dan kurang tepat bila Maysir diartikan dengan judi.

Kalimat “mungkin rugi dan mungkin untung”, juga ada dalam Muamalat jual beli, sebab orang yang berdagang mungkin untung mungkin rugi. Namun Muamalat jual beli ini berbeda dengan Maysir, seorang pedagang bila mengeluarkan uang maka ia memperoleh barang dan dengan barang itu ia bermuamalat untuk meraih keuntungan walaupun mungkin ia mendapat kerugian, tapi Maysir, begitu seseorang mengeluarkan uang maka mungkin ia rugi atau tidak dapat apapun dan mungkin ia beruntung.

Dalil-dalil Pengharaman Maysir:
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, maysir, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”. (QS. Al-Ma`idah : 90-91)

Dan dalam hadits Abu Hurairah riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah saw berkata kapada temannya : “Kemarilah saya berqimar denganmu”, maka hendaknya ia bershodaqah.”
Qimar menurut sebagian ulama sama dengan maysir, dan menurut sebagian ulama lain qimar hanya pada muamalat yang berbentuk perlombaan atau pertaruhan. Dan hadits di atas menunjukan haramnya qimar atau maysir dan ajakan melakukannya dikenakan kaffarah (denda) dengan bershodaqoh.
Dan tidak ada perselisihan pendapat di kalangan para ulama tentang haramnya maysir.

4. TADLIS (penipuan)
Tadlis secara umum diartikan sebagai penipuan,  terjadi Informasi yang tidak seimbang (assymmetric information). Yaitu transaksi yang dilakukan di mana salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui pihak lain. Tadlis dapat terjadi dalam kuantitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan.
Setiap transaksi dalam Islam harus didasarkan pada prinsip kerelaan antara kedua belah pihak (sama-sama rida). Mereka harus mempunyai informasi yang sama (complete information) atau tidak curang sehingga tidak ada pihak yang merasa ditipu karena ada suatu yang unknown to one party (keadaan di mana salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui pihak lain
Unknown to one party dalam bahasa fikihnya disebut tadlis, dan dapat terjadi dalam 4 (empat) hal, yakni dalam: 1. Kuantitas; 2. Kualitas; 3. Harga; dan 4. Waktu Penyerahan.

Tadlis dalam kuantitas contohnya adalah pedagang yang mengurangi takaran atau timbangan barang yang dijualnya.
Tadlis dalam kualitas contohnya adalah penjual yang menyembunyikan cacat barang yang ditawarkannya.
Tadlis (penipuan) dalam harga ini termasuk menjual harga yang lebih tinggi atau lebih rendah dari harga pasar karena ketidaktahuan pembeli atau penjual. Telah terjadi di zaman Rasulullah SAW terhadap tadlis dalam harga yaitu: diriwayatkan oleh Abdullah Ibnu Umar “ kami pernah keluar mencegat orang-orang yang datang membawa hasil panen mereka dari luar kota, lalu kami membelinya dari mereka. Rasulullah SAW melarang kami membelinya sampai nanti barang tersebut dibawa kepasar”.

5. IHTIKAR (penimbunan)
Secara umum Ihtikar diartikan sebagai upaya penimbunan barang dagangan untuk menunggu melonjaknya harga.
Imam Al-Ghazali  mendefinisikannya “penyimpanan barang dagangan oleh penjual makanan untuk menunggu melonjaknya harga dan penjualannya ketika harga melonjaknya.”

Dasar hukum yang digunakan para ulama fikih yang tidak membolehkan Ihtikar adalah kandungan nilai-nilai universal al-Qur’an yang menyatakan, bahwa setiap perbuatan aniaya, termasuk di dalamnya ihtikar diharamkan oleh agama Islam.
Diantara ayat-ayat tersebut adalah firman Allah dalam surat Al-Maidah:2
”Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran … (Al-Maidah:2)
Sabda Rasulullah SAW:
“Siapa yang merusak harga pasar hingga harga itu melonjak tajam, maka Allah akan menempatkannya di dalam neraka pada hari kiamat.” (HR. Thabrani)

Seluruh ulama sepakat menyatakan ihtikar itu hukumnya haram, walaupun terjadi perbedaan pendapat tentang cara penetapan hukum tersebut, sesuai dengan system pemahaman hukum yang dimiliki oleh madzhab masing-masing.
Ulama madzhab Syafi’i, Hambali, Maliki, Zaidiyah dan Az-Zahiri berpendapat bahwa melakukan ihtikar hukumnya haram, berdasarkan ayat dan hadits yang telah disebutkan diatas.
Menurut kalangan Madzhab Maliki, ihtikar itu hukumnya haram dan harus dicegah oleh pemerintah dengan segala cara karena perbuatan itu membawa mudharat yang besar terhadap kehidupan masyarakat dan Negara. Oleh karena itu, pihak penguasa harus segera campur tangan untuk mengatasinya.

6. NAJASY (rekayasa permintaan)
Dari Ibnu ‘Umar r.a.: Bahwasanya Rasulullah saw melarang jual-beli dengan cara najasy”. Dan dalam lafazh yang lain dinyatakan: Janganlah kamu sekalian melakukan jual-beli dengan cara najasy. (HR al-Bukhari)
Rasulullah s.a.w.  pada prinsipnya, melarang bai’ an-najasy. An-Najasy yang dimaksud dalam hadis ini ialah bentuk praktik julal-beli sebagai berikut: seseorang yang telah ditugaskan menawar barang mendatangi penjual lalu menawar barang tersebut dengan harga yang lebih tinggi dari yang biasa. Hal itu dilakukannya dihadapan pembeli dengan tujuan memperdaya si pembeli. Sementara ia sendiri tidak berniat untuk membelinya, namun tujuannya semata-mata ingin memperdaya si pembeli dengan tawarannya tersebut. Ini termasuk bentuk penipuan, dan oleh karenanya disebut sebagai praktik jual-beli yang terlarang.

Al-Baghawi berkata dalam kitab Syarhus Sunnah , “Najasy adalah seorang laki-laki melihat ada barang yang hendak dijual. Lalu ia datang menawar barang tersebut dengan tawaran yang tinggi sementara ia sendiri tidak berniat membelinya, namun semata-mata bertujuan mendorong para pembeli untuk membelinya dengan harga yang lebih tinggi.
At-Tanâjusy adalah seseorang melakukan hal tersebut untuk temannya dengan balasan temannya itu melakukan hal yang sama untuknya jika barangnya jadi terjual dengan harga tinggi. Pelakunya dianggap sebagai orang durhaka karena perbuatannya itu, baik ia mengetahui adanya larangan maupun tidak, sebab perbuatan tersebut termasuk penipuan dan penipuan bukanlah akhlak orang Islam.

 ‘Abdullah bin Abi Aufa berkata, “Pelaku praktik najasy adalah pemakan riba dan pengkhianat,” (HR al-Bukhari [2675]).
Jika si penjual bekerja sama dengan pelaku najasy dan memberikan kepadanya persen bila barang laku terjual dengan harga tinggi, maka ia juga turut mendapatkan bagian dalam dosa, penipuan, dan pengkhianatan. Keduanya berada dalam Neraka.

Dari Umar r.a, bahwa Rasulullah SAW melarang Najasy memuji-muji barang jualan atau pura-pura menawar barang teman dengan harga tinggi, agar laku dan mahal harganya. (HR. Muttafaq ‘Alaih).

Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwasanya menyembunyikan aib barang adalah haram. Melarang menjual sesuatu yang sudah jelas timbangannya dengan sesuatu barang yang tidak jelas timbangannya. Islam mencegah terjadinya sebuah kerugian yang disebabkan sebuah pertukaran semata-mata karena adanya perkiraan (spekulasi) kwantitas dari komoditas yang akan diperjualbelikan.
.
7. RISYWAH (suap)

Pemberian kepada penguasa disebut risywah (suap). Suap
dimaksudkan agar kepentingan pemberi suap tercapai; bisa berupa
pemenuhan suatu kepentingan atau pembebasan kewajiban, perkara,
ataupun sanksi. Dengan suap, penerima suap diharapkan melakukan
sesuatu yang sudah menjadi tugasnya, atau yang menyalahi tugasnya,
atau agar tidak melakukan tugasnya sebagaimana mestinya.
 
Risywah (suap) adalah semua bentuk harta yang diberikan kepada
seseorang demi memperoleh suatu keputusan atau memenuhi suatu
kepentingan yang seharusnya diputuskan atau dipenuhi oleh seseorang
itu tanpa pembayaran dalam bentuk apapun.

Dari Abu Hurairah :
Rasulullah saw. melaknat pemberi dan penerima suap dalam pemerintahan (HR at-Tirmudzi dan Abu Dawud).
Dalam riwayat lain, laknat Allah menunjukkan bahwa suap adalah aktivitas yang dilarang secara tegas karena orang yang dilaknat itu tempatnya di neraka. Karena itu, suap hukumnya haram. Keharaman suap itu dinyatakan nash tanpa disertai dengan adanya `illat (alasan hukum) apapun. Karena itu, tidak bisa dikatakan, suap diharamkan jika tujuannya batil atau membatalkan dan melawan kebenaran. Adapun jika tujuannya demi kebenaran atau untuk menolak kemadaratan dan kezaliman maka suap dibolehkan. Perkataan tersebut sama artinya dengan membuat-buat `illat (alasan hukum) yang tidak dinyatakan oleh nash.

Kata ar-râsyi (penyuap), al-murtasyi (penerima suap), dan ar-râ'isyi
(perantara atau penghubung) adalah kata umum dan tidak ada nash yang mengkhususkannya. Karena itu, laknat Allah dan Rasulullah itu akan menimpa ar-râsyi, al-murtasyi dan ar-râ'isyi; baik penguasa, hakim, pegawai negeri, direktur, manejemen perusahaan, karyawan, pelayan toko, ataupun tukang sampah; baik secara pribadi, berdua, atau banyak orang secara bersama-sama. 
 (AF Consulting)