Senin, 20 Desember 2010

SELISIH PANDANG TENTANG UANG DALAM ISLAM

Mata uang mempunyai peranan sangat penting dalam kehidupan umat manusia karena dengan menggunakan uang, manusia dapat  memenuhi kebutuhan hidup serta memperlancar aktivitas kehidupannya.
Keberadaan uang  dalam sebuah perekonomian memberikan arti yang penting, ketidakadilan dari alat ukur yang diakibatkan adanya instabilitas nilai tukar uang akan mengakibatkan perekonomian tidak berjalan pada titik keseimbangan.
Melihat penggunaan uang kertas yang beredar saat ini, secara lahiriah bahan dan bentuk bisa diterima sebagai uang. Namun penggunaannya saat ini banyak menimbulkan masalah dan krisis keuangan di banyak negara. Negara kuat bisa seenaknya mencetak mata uangnya dan melemahkan mata uang negara lain, karena tidak ada beban dan murahnya nilai kertas itu sendiri, hal ini karena tidak ada dasar moneter yang kuat. Sehingga muncul, wacana untuk kembali pada penggunaan emas dan perak (dinar dan dirham).
Secara umum, ada perbedaan pendapat diantara fuqaha tentang keharusan penggunaan dinar dan dirham oleh umat islam sebagai mata uang dalam perkonomian. Pendapat pertama menyatakan bahwa uang adalah bentuk penciptaan dan hanya terbatas pada dinar dan dirham. Artinya, tidak ada bentuk mata uang lain yang boleh dipergunakan selain dinar dan dirham, termasuk juga uang kertas yang beredar saat ini. Karena menurut mereka Allah telah menciptakan emas dan perak sebagai tolok ukur nilai. Sebagai buktinya adalah banyaknya istilah emas dan perak yang disebut dalam Al-Qur’an. Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Ghazali, Ibnu Qudamah, dan Al-Maqrizi. Dikatakan oleh Maqrizi, “Sesungguhnya uang yang menjadi harga barang-barang yang dijual dan nilai pekerjaan adalah hanya emas dan perak saja. Tidak diketahui dalam riwayat yang shahih maupun yang lemah dari umat manapun dan kelompok manusia manapun, bahwa mereka dalam masa lalu dan masa kontemporernya selalu menggunakan uang selain keduanya.”
Pendapat kedua menyatakan bahwa uang adalah masalah terminologi. Maka segala sesuatu yang secara terminologi manusia dapat diterima dan diakui oleh mereka sebagai tolok ukur nilai, maka bisa disebut sebagai uang. Pandangan ini lebih dekat dengan definisi uang yang ada saat ini. Pendapat ini juga menyepakati substansi dari pernyataan Umar r.a sebagai berikut: “Aku ingin menjadikan dirham dari kulit unta” Lalu dikatakan kepadanya, “Jika demikian, unta akan habis” maka dia manahan diri. Hal ini menunjukkan bahwa pemimpin dapat membuat uang dari materi apapun dan dengan bentuk apapun selama dapat merealisasikan kemaslahatan, dan tidak menyalahi aturan syariah. Pendapat kedua ini didukung oleh Imam Malik, Imam Ahmad, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Hazm. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa uang kembali pada terminologi manusia bahwa sesuatu itu adalah uang, dan ia beragam bentuknya sesuai keragaman tradisi dan adat istiadat manusia; dan beliau menafikan adanya uang yang pasti dengan hukum sya’i atau hukum alami (penciptaan). Dalam hal ini uang kertas yang banyak beredar saat ini secara fiqih dapat dinyatakan sebagai uang selama dalam terminologi manusia masih disebut uang.
Perbedaan pendapat ini tidak hanya terkait lahiriah dan fisik dari uang itu sendiri, tapi lebih jauh adalah pada hal-hal yang substansial (misal:posisi zakat dan riba) Hal ini mengingat bahwa uang memiliki peranan yang sangat penting; pelayanan besar yang diberikan oleh uang dalam perkonomian, hubungan yang kuat antara uang dan perekonomian, pengaruh uang yang sangat besar, dan uang merupakan salah satu faktor kekuasaan dan kemandirian ekonomi.
Pendapat kedua merupakan pendapat yang lebih kuat, sehingga para ekonom sepakat bahwa uang adalah masalah terminologi. Mereka berpendapat bahwa uang itu berarti segala sesuatu yang beredar penggunaanya dan terjadi penerimaannya. Dalam hal ini, benda apapun boleh dijadikan sebagai mata uang, namun harus ada beberapa hal yang harus diperhatikan :
Islam melarang setiap hal yang berdampak pada bertambahnya gejolak dalam daya beli uang, dan ketidakstabilan nilainya yang hakiki. Contohnya: larangan perdagangan uang (karena uang adalah alat perdagangan, bukan yang diperdagangkan), dan pengharaman penimbunan uang. Inflasi adalah salah satu contoh menurunnya daya beli uang terhadap barang dan hal ini pernah terjadi pada masa Umar r.a dimana pada saat itu mata uang yang digunakan adalah dinar dan dirham. Artinya tidak ada jaminan bahwa dinar dan dirham akan mencegah terjadinya inflasi. Semua jenis bahan mata uang (emas, perak ataupun kertas) mempunyai potensi menimbulkan inflasi. Tugas negara adalah menjaga kestabilan nilai mata uang tersebut.
Apa yang disebut dengan uang harus diterima dan dipercaya oleh kebanyakan manusia agar fungsi dan nilainya dapat terlindungi. Serta harus diatur dan diterbitkan oleh negara. (AF Consulting)

Kamis, 09 Desember 2010

7 JENIS TRANSAKSI EKONOMI SETAN

1. RIBA
Riba berarti menetapkan bungaatau melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan  dalam Islam.

Riba dengan segala bentuknya adalah haram dan termasuk dosa besar, dengan dasar Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ ulama.
Dalil dari Al-Qur`an di antaranya adalah:
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
(Al-Baqarah: 275)
Juga dalam firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.” (Al-Baqarah: 278-279)
Hadits Abu Hurairah :
“Jauhilah tujuh perkara yang menghancurkan,di antaranya memakan riba.” (Muttafaqun ‘alaih)
Hadits Abu Juhaifah  riwayat Al-Bukhari:
“Semoga Allah melaknat pemakan riba.”(HR. Al-Bukhari)
Dalam hadits Jabir  yang diriwayatkan Al-Imam Muslim, yang dilaknat adalah pemakan riba, pemberi riba, penulis dan dua saksinya, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:
“Mereka itu sama.”

Para ulama sepakat bahwa riba adalah haram dan termasuk dosa besar. Keadaannya seperti yang digambarkan oleh Ibnu Taimiyah  sebagai berikut: “Tidak ada suatu ancaman hukuman atas dosa besar selain syirik yang disebut dalam Al-Qur`an yang lebih dahsyat daripada riba.”


2. GHARAR
Menurut bahasa arab Gharar atau Taghir,  berarti akibat, bencana, bahaya, resiko, ketidakpastian, pertaruhan dan lain-lain. Sebagai istilah dalam fiqih Muamalat taghrir berarti melakukan sesuatu secara membabi buta tanpa pengetahuan yang mencukupi atau mengambil resiko sendiri dari suatu perbuatan yang mengandung resiko tanpa mengetahui dengan persis apa akibatnya atau memasuki arena resiko tanpa memikirkan konsekuensinya.

Dalam ilmu ekonomi Taghrir ini disebut uncertainty (ketidakpastian) atau resiko. Kedua belah pihak sama-sama tidak memiliki kepastian mengenai sesuatu yang di transaksikan.
Dalam syari’at Islam, jual beli gharar ini terlarang. Dengan dasar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang berbunyi.
“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli al-hashah dan jual beli gharar
Dalam sistem jual beli gharar ini terdapat unsur memakan harta orang lain dengan cara batil. Padahal Allah melarang memakan harta orang lain dengan cara batil sebagaimana tersebut dalam firmanNya.
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu..... ” [An-Nisaa : 29]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan, dasar pelarangan jual beli gharar ini adalah larangan Allah dalam Al-Qur’an, yaitu (larangan) memakan harta orang dengan batil. Begitu pula dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau melarang jual beli gharar ini. Pelarangan ini juga dikuatkan dengan pengharaman judi, sebagaimana ada dalam firman Allah.
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” [Al-Maidah : 90]

3. MAYSIR
Secara bahasa Maysir bisa dimaknakan dalam beberapa kalimat : Gampang atau mudah, orang yang kaya dan wajib.
Secara istilah, Maysir adalah setiap Muamalah yang orang masuk kedalamnya dan dia mungkin rugi dan mungkin beruntung.
Ini defenisi Maysir dalam istilah ulama, walaupun sebagian orang mengartikan Maysir ini ke dalam bahasa Indonesia dengan pengertian sempit, yaitu judi. Judi adalah salah satu bentuk Maisir sebab seseorang masuk kedalamnya mungkin menang dan mungkin kalah, mungkin untung dan mungkin rugi. Karena itu sangatlah sempit dan kurang tepat bila Maysir diartikan dengan judi.

Kalimat “mungkin rugi dan mungkin untung”, juga ada dalam Muamalat jual beli, sebab orang yang berdagang mungkin untung mungkin rugi. Namun Muamalat jual beli ini berbeda dengan Maysir, seorang pedagang bila mengeluarkan uang maka ia memperoleh barang dan dengan barang itu ia bermuamalat untuk meraih keuntungan walaupun mungkin ia mendapat kerugian, tapi Maysir, begitu seseorang mengeluarkan uang maka mungkin ia rugi atau tidak dapat apapun dan mungkin ia beruntung.

Dalil-dalil Pengharaman Maysir:
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, maysir, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”. (QS. Al-Ma`idah : 90-91)

Dan dalam hadits Abu Hurairah riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah saw berkata kapada temannya : “Kemarilah saya berqimar denganmu”, maka hendaknya ia bershodaqah.”
Qimar menurut sebagian ulama sama dengan maysir, dan menurut sebagian ulama lain qimar hanya pada muamalat yang berbentuk perlombaan atau pertaruhan. Dan hadits di atas menunjukan haramnya qimar atau maysir dan ajakan melakukannya dikenakan kaffarah (denda) dengan bershodaqoh.
Dan tidak ada perselisihan pendapat di kalangan para ulama tentang haramnya maysir.

4. TADLIS (penipuan)
Tadlis secara umum diartikan sebagai penipuan,  terjadi Informasi yang tidak seimbang (assymmetric information). Yaitu transaksi yang dilakukan di mana salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui pihak lain. Tadlis dapat terjadi dalam kuantitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan.
Setiap transaksi dalam Islam harus didasarkan pada prinsip kerelaan antara kedua belah pihak (sama-sama rida). Mereka harus mempunyai informasi yang sama (complete information) atau tidak curang sehingga tidak ada pihak yang merasa ditipu karena ada suatu yang unknown to one party (keadaan di mana salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui pihak lain
Unknown to one party dalam bahasa fikihnya disebut tadlis, dan dapat terjadi dalam 4 (empat) hal, yakni dalam: 1. Kuantitas; 2. Kualitas; 3. Harga; dan 4. Waktu Penyerahan.

Tadlis dalam kuantitas contohnya adalah pedagang yang mengurangi takaran atau timbangan barang yang dijualnya.
Tadlis dalam kualitas contohnya adalah penjual yang menyembunyikan cacat barang yang ditawarkannya.
Tadlis (penipuan) dalam harga ini termasuk menjual harga yang lebih tinggi atau lebih rendah dari harga pasar karena ketidaktahuan pembeli atau penjual. Telah terjadi di zaman Rasulullah SAW terhadap tadlis dalam harga yaitu: diriwayatkan oleh Abdullah Ibnu Umar “ kami pernah keluar mencegat orang-orang yang datang membawa hasil panen mereka dari luar kota, lalu kami membelinya dari mereka. Rasulullah SAW melarang kami membelinya sampai nanti barang tersebut dibawa kepasar”.

5. IHTIKAR (penimbunan)
Secara umum Ihtikar diartikan sebagai upaya penimbunan barang dagangan untuk menunggu melonjaknya harga.
Imam Al-Ghazali  mendefinisikannya “penyimpanan barang dagangan oleh penjual makanan untuk menunggu melonjaknya harga dan penjualannya ketika harga melonjaknya.”

Dasar hukum yang digunakan para ulama fikih yang tidak membolehkan Ihtikar adalah kandungan nilai-nilai universal al-Qur’an yang menyatakan, bahwa setiap perbuatan aniaya, termasuk di dalamnya ihtikar diharamkan oleh agama Islam.
Diantara ayat-ayat tersebut adalah firman Allah dalam surat Al-Maidah:2
”Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran … (Al-Maidah:2)
Sabda Rasulullah SAW:
“Siapa yang merusak harga pasar hingga harga itu melonjak tajam, maka Allah akan menempatkannya di dalam neraka pada hari kiamat.” (HR. Thabrani)

Seluruh ulama sepakat menyatakan ihtikar itu hukumnya haram, walaupun terjadi perbedaan pendapat tentang cara penetapan hukum tersebut, sesuai dengan system pemahaman hukum yang dimiliki oleh madzhab masing-masing.
Ulama madzhab Syafi’i, Hambali, Maliki, Zaidiyah dan Az-Zahiri berpendapat bahwa melakukan ihtikar hukumnya haram, berdasarkan ayat dan hadits yang telah disebutkan diatas.
Menurut kalangan Madzhab Maliki, ihtikar itu hukumnya haram dan harus dicegah oleh pemerintah dengan segala cara karena perbuatan itu membawa mudharat yang besar terhadap kehidupan masyarakat dan Negara. Oleh karena itu, pihak penguasa harus segera campur tangan untuk mengatasinya.

6. NAJASY (rekayasa permintaan)
Dari Ibnu ‘Umar r.a.: Bahwasanya Rasulullah saw melarang jual-beli dengan cara najasy”. Dan dalam lafazh yang lain dinyatakan: Janganlah kamu sekalian melakukan jual-beli dengan cara najasy. (HR al-Bukhari)
Rasulullah s.a.w.  pada prinsipnya, melarang bai’ an-najasy. An-Najasy yang dimaksud dalam hadis ini ialah bentuk praktik julal-beli sebagai berikut: seseorang yang telah ditugaskan menawar barang mendatangi penjual lalu menawar barang tersebut dengan harga yang lebih tinggi dari yang biasa. Hal itu dilakukannya dihadapan pembeli dengan tujuan memperdaya si pembeli. Sementara ia sendiri tidak berniat untuk membelinya, namun tujuannya semata-mata ingin memperdaya si pembeli dengan tawarannya tersebut. Ini termasuk bentuk penipuan, dan oleh karenanya disebut sebagai praktik jual-beli yang terlarang.

Al-Baghawi berkata dalam kitab Syarhus Sunnah , “Najasy adalah seorang laki-laki melihat ada barang yang hendak dijual. Lalu ia datang menawar barang tersebut dengan tawaran yang tinggi sementara ia sendiri tidak berniat membelinya, namun semata-mata bertujuan mendorong para pembeli untuk membelinya dengan harga yang lebih tinggi.
At-Tanâjusy adalah seseorang melakukan hal tersebut untuk temannya dengan balasan temannya itu melakukan hal yang sama untuknya jika barangnya jadi terjual dengan harga tinggi. Pelakunya dianggap sebagai orang durhaka karena perbuatannya itu, baik ia mengetahui adanya larangan maupun tidak, sebab perbuatan tersebut termasuk penipuan dan penipuan bukanlah akhlak orang Islam.

 ‘Abdullah bin Abi Aufa berkata, “Pelaku praktik najasy adalah pemakan riba dan pengkhianat,” (HR al-Bukhari [2675]).
Jika si penjual bekerja sama dengan pelaku najasy dan memberikan kepadanya persen bila barang laku terjual dengan harga tinggi, maka ia juga turut mendapatkan bagian dalam dosa, penipuan, dan pengkhianatan. Keduanya berada dalam Neraka.

Dari Umar r.a, bahwa Rasulullah SAW melarang Najasy memuji-muji barang jualan atau pura-pura menawar barang teman dengan harga tinggi, agar laku dan mahal harganya. (HR. Muttafaq ‘Alaih).

Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwasanya menyembunyikan aib barang adalah haram. Melarang menjual sesuatu yang sudah jelas timbangannya dengan sesuatu barang yang tidak jelas timbangannya. Islam mencegah terjadinya sebuah kerugian yang disebabkan sebuah pertukaran semata-mata karena adanya perkiraan (spekulasi) kwantitas dari komoditas yang akan diperjualbelikan.
.
7. RISYWAH (suap)

Pemberian kepada penguasa disebut risywah (suap). Suap
dimaksudkan agar kepentingan pemberi suap tercapai; bisa berupa
pemenuhan suatu kepentingan atau pembebasan kewajiban, perkara,
ataupun sanksi. Dengan suap, penerima suap diharapkan melakukan
sesuatu yang sudah menjadi tugasnya, atau yang menyalahi tugasnya,
atau agar tidak melakukan tugasnya sebagaimana mestinya.
 
Risywah (suap) adalah semua bentuk harta yang diberikan kepada
seseorang demi memperoleh suatu keputusan atau memenuhi suatu
kepentingan yang seharusnya diputuskan atau dipenuhi oleh seseorang
itu tanpa pembayaran dalam bentuk apapun.

Dari Abu Hurairah :
Rasulullah saw. melaknat pemberi dan penerima suap dalam pemerintahan (HR at-Tirmudzi dan Abu Dawud).
Dalam riwayat lain, laknat Allah menunjukkan bahwa suap adalah aktivitas yang dilarang secara tegas karena orang yang dilaknat itu tempatnya di neraka. Karena itu, suap hukumnya haram. Keharaman suap itu dinyatakan nash tanpa disertai dengan adanya `illat (alasan hukum) apapun. Karena itu, tidak bisa dikatakan, suap diharamkan jika tujuannya batil atau membatalkan dan melawan kebenaran. Adapun jika tujuannya demi kebenaran atau untuk menolak kemadaratan dan kezaliman maka suap dibolehkan. Perkataan tersebut sama artinya dengan membuat-buat `illat (alasan hukum) yang tidak dinyatakan oleh nash.

Kata ar-râsyi (penyuap), al-murtasyi (penerima suap), dan ar-râ'isyi
(perantara atau penghubung) adalah kata umum dan tidak ada nash yang mengkhususkannya. Karena itu, laknat Allah dan Rasulullah itu akan menimpa ar-râsyi, al-murtasyi dan ar-râ'isyi; baik penguasa, hakim, pegawai negeri, direktur, manejemen perusahaan, karyawan, pelayan toko, ataupun tukang sampah; baik secara pribadi, berdua, atau banyak orang secara bersama-sama. 
 (AF Consulting)



Minggu, 21 November 2010

MENGHARAMKAN PASAR MODAL

Pasar modal secara umum merupakan suatu tempat bertemunya para penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi dalam rangka memperoleh modal.  Penjual dalam pasar modal merupakan perusahaan yang membutuhkan modal (emiten), sehingga mereka berusaha untuk menjual efek-efek di pasar modal.  Sedangkan pembeli (investor) adalah pihak yang ingin membeli modal di perusahaan yang menurut mereka menguntungkan.

Selama ini pasar modal menjadi wadah ekonomi yang paling banyak menjalankan transaksi yang dilarang seperti bunga (riba), perjudian (gambling/maysir), gharar, penipuan dan lain-lain. Upaya untuk melakukan Islamisasi pada sektor perputaran modal yang sangat vital bagi perekonomian modern ini semakin gencar.

Dilihat dari sisi syariah, pasar modal adalah salah satu sarana atau produk muamalah. Transaksi didalam pasar modal, menurut prinsip hukum syariah tidak dilarang atau dibolehkan sepanjang tidak terdapat transaksi yang bertentangan dengan ketentuan yang telah digariskan oleh syariah. Diantara yang dilarang oleh syariah adalah transaksi yang mengandung bunga dan riba. Larangan transaksi bunga (riba) sangat jelas, karena itu transaksi dipasar modal yang didalamnya terdapat bunga (riba) tidak diperkenankan oleh Syari’ah.

Syari’ah juga melarang transaksi yang didalamnya terdapat spekulasi dan mengandung gharar atau ketidakjelasan yaitu transaksi yang didalamnya dimungkinkan terjadinya penipuan (tadlis). Termasuk dalam pengertian ini: melakukan penawaran palsu (najsy); transaksi atas barang yang belum dimiliki (short selling/bai’u maalaisa bimamluk); menjual sesuatu yang belum jelas (bai’ul ma’dum); pembelian untuk penimbunan efek (ihtikar) dan menyebarluaskan informasi yang menyesatkan atau memakai informasi orang dalam untuk memperoleh keuntungan transaksi yang dilarang (insider trading).

Sesungguhnya Pasar Modal itu halal jika bertujuan untuk mempertemukan antara pengusaha yang memerlukan modal dengan investor yang kelebihan uang, sehingga sektor riil bisa bangkit. Dengan cara ini, maka produksi, baik barang maupun jasa bisa meningkat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, serta membuka lapangan kerja bagi banyak orang. Hal seperti itu halal, dengan catatan tidak ada gharar  atau riba yang mengurangi hak dan merugikan investor.

Sebagian ummat Islam menganggap bahwa jual-beli saham di Bursa Saham (Stock Market) adalah halal, sementara sebagian lainnya menganggap haram karena termasuk spekulasi atau judi.

Sebagai ummat Islam, jika ada perbedaan seperti itu, hendaklah kita kembali berpegang pada Al Qur’an dan Hadits
“Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [An Nisaa:59]

Kita memang tidak bisa mengklaim sebagai yang paling benar, tapi sesungguhnya Al Qur’an itu tidak ada keraguan bagi orang yang takwa serta mentaati Nabi itu adalah perintah dari Al Qur’an. Al Qur’an dikenal juga sebagai Al Furqon, yang membedakan mana yang haq dengan yang bathil. Untuk itu, kita harus berpedoman pada Al Qur’an dan Hadits, bukan cuma berdasarkan pendapat kita sendiri.

Saham adalah Barang Yang Tidak Jelas

Ada yang berpendapat bahwa jual-beli saham halal dengan alasan sama dengan jual-beli barang lainnya seperti buah atau beras. Hal ini sungguh kurang tepat. Saham itu baik barang maupun nilainya tidak jelas, sehingga membeli atau menjualnya adalah tindakan yang spekulatif. Jangankan saham, buah saja meskipun halal, tapi jika kondisinya belum jelas dilarang diperjual-belikan.

Menurut jabir; “Rasulullah s.a.w. melarang penjualan buah-buahan sebelum ia masak.” (Hadis riwayat Bukhari).
“Dari Jabir bin Abdullah ra katanya: Rasulullah SAW melarang kontrak jual beli hasil buah kebun untuk beberapa tahun lamanya” (HR Muslim).
Nabi melarang hal itu, Karena itu itu tindakan spekulatif, walau pun buah itu halal. Jika buah-buahannya masak, pembeli untung, tapi jika tidak masak atau busuk, maka pembeli rugi. 

Begitu pula dengan saham. Nabi melarang jual-beli tanpa si penjual memberi kesempatan bagi si pembeli untuk meneliti barang yang dibelinya, misalnya hanya memegang tanpa melihat, atau langsung dilempar begitu saja. Boleh dikata, hampir semua pembeli di bursa saham membeli saham tanpa pernah pergi ke perusahaannya dan melihat assetnya apakah benar sesuai dengan laporan keuangan atau tidak.

Dalam satu hadits, Nabi juga berkata bahwa sesungguhnya Allah mencintai orang yang bekerja dengan tangannya sendiri. Bukan orang yang cuma duduk-duduk saja membeli saham sambil berharap suatu saat dapat capital gain.
“Tiada makanan yang lebih baik daripada hasil usaha tangannya sendiri.” (HR. Bukhari)
Jual-beli saham pada pasar sekunder, jika trend grafiknya naik, mungkin semua orang akan senang.  jika fluktuatif, akan ada yang menang dan ada yang rugi. Persis seperti judi. Jika ada yang menang, maka ada yang harus kalah. Tidak mungkin semua mendapat kemenangan. Misalnya untuk untung, kita harus beli di harga rendah dan menjualnya di harga tinggi, misalnya kita beli harga saham di harga Rp 5000 dan menjualnya di harga Rp 10.000. Agar bisa terjadi seperti itu, tentu ada yang harus membeli di harga tinggi (Rp 10.000) dan menjualnya di harga rendah (Rp 5000). Kita mungkin menang, tapi yang lainnya rugi.

Pada kondisi trend grafik menurun, tentunya yang terjadi lebih parah lagi. Ada yang rugi sedikit, ada pula yang rugi besar hingga harus menjual rumah atau kehilangan milyaran rupiah. Kemenangan satu pemain saham umumnya berasal dari kerugian pemain lainnya.
“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” [Al Maa-idah:91]

Islam mensyaratkan adanya saling kerelaan (senang) di antara pembeli dan penjual:
“Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu makan harta kamu di antara kamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan dengan adanya saling kerelaan dari antara kamu.” (an-Nisa’: 29)
Kerelaan di atas maksudnya baik pembeli dan penjual tidak kecewa atau dirugikan. Pada transaksi riba, mungkin antara debitur dan kreditur menanda-tangani peminjaman dengan sukarela, tapi pada dasarnya itu haram, karena debitur dirugikan. Demikian pula dengan jual-beli saham terutama ketika harga menurun.

Uang Beredar pada Kelompok Tertentu Saja.

Ada yang berpendapat, jika berusaha di sektor riil juga kita bisa rugi. Itu benar, tapi kenyataan menunjukkan bahwa hal itu adalah halal, dan kenyataannya, lebih dari 70% para pengusaha itu berhasil. Jika seandainya rugi, maka prosesnya tidak secepat pada saham. Seorang pengusaha dengan modal 2 milyar, paling tidak dia bangkrut setelah 1-2 tahun beroperasi. Tapi dalam bermain saham, sama halnya dengan judi, uang sebesar itu bisa lenyap dalam semalam atau sebulan saja. Jika pada sektor riil seorang pengusaha yang jatuh akhirnya bisa belajar dan akhirnya sukses, pada saham proses begitu cepat dan bisa menimbulkan kecanduan seperti judi.

“…supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” [Al Hasyr:7]

Jual-beli saham itu haram karena melanggar perintah Allah pada surat Al Hasyr ayat 7. Pada Mudlorobah dan Musyarokah, pengusaha yang memerlukan modal bisa mendapat uang dari investor untuk menjalankan usahanya. Jika jual-beli saham diadakan, maka modal yang diperlukan untuk usaha itu akhirnya beredar antara investor satu dengan investor yang lain, sehingga sektor riil justru tidak bisa berkembang karena kekurangan dana.
Contohnya, di pasar modal transaksi jual-beli saham mencapai antara Rp 200 milyar hingga Rp 1 trilyun PER HARI. Uang tersebut tidak bermanfaat apa-apa karena hanya beredar di antara orang-orang kaya (pemilik uang) saja. Padahal jika uang itu diinvestasikan untuk membuka perusahaan baru, maka paling tidak 200 perusahaan bisa berdiri. Misalkan kita mengimpor kedelai sebesar Rp 3 trilyun per tahun dari AS, bisa jadi dengan uang di atas, kita bisa menggerakan sektor pertanian, sehingga ratusan ribu petani bisa bekerja dan memberi nafkah bagi jutaan anggota keluarganya, rakyat bisa terpenuhi kebutuhan pangannya, dan negara bisa menghemat devisa sebesar Rp 3 trilyun per tahunnya.

Tapi jika kita menganggap jual-beli saham itu halal meski bertentangan dengan ayat Al Hasyr ayat 7, maka uang sebesar Rp 200 milyar hingga Rp 1 trilyun itu tidak berarti apa-apa kecuali beredar di antara sesama spekulator saham.

Bertentangan dengan Konsep Syarikat Islam

Jual-beli saham juga bertentangan dengan konsep Syarikat Islam. Dalam konsep Syarikat Islam, orang-orang yang bekerjasama membentuk perusahaan, baik pengusaha atau pun investor saling mengenal dan terikat kontrak yang jelas.
“Dari Saib Al Makhzumi ra: Dia adalah syarikat (partner bisnis) Rasulullah SAW ketika belum menjadi Rasul. Setelah peristiwa Fathu Mekkah, Nabi berkata: “Selamat datang saudaraku dan syarikatku” (HR Imam Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah)

Begitulah konsep persekutuan bisnis dalam Islam. Sesama partner saling mengenal. Kalau dalam jual-beli saham, para partner bisnis mayoritas majhul atau tidak dikenal. Saking liquid-nya, pemegang saham satu perusahaan bisa berubah-rubah baik jumlah mau pun orangnya. Ada yang berpendapat bahwa semua itu tergantung niat. Jika niatnya membeli saham untuk investasi, maka jual-beli saham di pasar sekunder halal. Jika spekulasi, maka haram. Semudah itukah?

Jika niatnya memang investasi, tentu dia akan menyerahkan modalnya langsung kepada pengusaha yang memerlukan modal baik langsung atau di pasar perdana (IPO). Tapi jika menyerahkan uangnya kepada pemilik saham yang menjual sahamnya (spekulan) di pasar sekunder, itu sama saja dengan spekulasi. Ini mengakibatkan uang hanya beredar di antara sesama pemilik uang seperti yang disebut di atas.

Niat seperti itu jika tidak dilakukan dengan cara yang benar, sama saja dengan bersedekah pada orang berduit yang kemudian memakainya untuk berjudi atau bermaksiat. Jika dia sudah mengetahui hal itu tapi tetap melaksanakannya, sungguh dia telah tolong-menolong dalam kemaksiatan seperti yang disebut dalam Al Qur’an.

Tidak Peduli Halal dan Haram

Ada juga pengamat yang berkata bahwa jual-beli saham untuk orang awam yang tidak punya data itu haram, karena resikonya besar. Tapi bagi yang ahli serta punya data, itu halal. Ini sama dengan mengatakan bahwa orang yang tidak mabuk, halal meminum khamar, atau seorang penjudi yang jago halal untuk berjudi. Islam tidak diskriminatif seperti itu…
Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi SAW bersabda: “Akan datang suatu masa di mana orang tak peduli akan apa yang diambilnya, apakah dari yang halal atau dari yang haram” (HR Bukhari)

Pada transaksi jual beli saham investor tidak bisa mendapatkan keuntungan yang layak dari deviden, kecuali dari capital gain lewat jual-beli saham di pasar sekunder. Bayangkan, ada satu perusahaan besar dengan banyak produk yang dipakai luas di masyarakat, tapi hanya memberikan deviden sebesar 2,3% saja per tahun dari nilai pasar yang ada jika kita membelinya. Itu berarti jika kita membeli saham itu, maka pokok modal kita akan kembali setelah lebih dari 40 tahun! Padahal Direksinya bergaji puluhan juta rupiah per bulan, demikian pula pemilik perusahaan tersebut.

Hal itu persis ayat seperti ini, jika untuk kepentingannya sendiri, maka emiten ingin mendapat keuntungan/gaji yang besar. Tapi jika untuk investornya, dia beri hasil yang sedikit:
“Celakalah orang-orang yang mengurangi, apabila mereka itu menakar kepunyaan orang lain (membeli) mereka memenuhinya, tetapi jika mereka itu menakarkan orang lain (menjual) atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Apakah mereka itu tidak yakin, bahwa kelak mereka akan dibangkitkan dari kubur pada suatu hari yang sangat besar, yaitu suatu hari di mana manusia akan berdiri menghadap kepada Tuhan seru sekalian alam?!” (al-Muthafifin: 1-6)

Tanpa jual-beli saham, dengan berbagi keuntungan saja investor seharusnya bisa hidup jika emiten (syarikat)nya jujur. Mungkin seorang investor tidak akan mendapat keuntungan yang sangat besar, tapi paling tidak keuntungan bisa didapat lebih dari bunga bank jika tidak terjadi gharar. Sebab bisnis itu jika dijalankan dengan profesional, keuntungannya bisa jauh di atas bunga bank yang ada (9%), bukan di bawahnya.

Saham adalah Transaksi yang Tidak Adil       

Dalam Islam, bagi hasil dilakukan secara adil, sehingga baik pengusaha maupun investor bisa hidup dari keuntungan tersebut.
Imam Malik berkata dalam kitab Al Muwaththo: Dari Al ‘Ala bin Abdul Rahman bin Yaqub, dari bapaknya, dari kakeknya ra: “Bahwasanya ia menggunakan harta Usman (untuk berbisnis) yang keuntungannya dibagi dua”

Jual-beli saham di pasar sekunder terjadi karena emiten tidak bertanggung-jawab untuk memberikan bagi hasil yang adil kepada investor atau mengembalikan modal investor jika investor membutuhkannya. Tanggung-jawab itu dilemparkan kepada investor lain yang ada di bursa saham. Bisa terjadi ketika saham emiten (perusahaannya bangkrut) tersebut menjadi 0, Direktur beserta komisaris atau pemilik perusahaan yang asli (yang ada sebelum IPO) bisa tetap menikmati kekayaan berupa rumah dan mobil mewah dari uang yang diperolehnya lewat perusahaan tersebut ketika masa jaya, sementara investor non emiten menjadi bangkrut. 

Seandainya memang semua investor sepakat untuk menjual perusahaan, maka yang dijual bukanlah saham yang tidak nyata itu, tapi aset perusahaan tersebut. Misalkan aset perusahaan itu adalah gedung, maka yang dijual adalah gedungnya, uangnya dibagi kepada para syarikat yang ada. Itulah cara Islam.
“Dari Jabir ra katanya: Berkata Rasulullah SAW: Barang siapa yang berserikat pada rumah atau kebun (milik bersama), tidaklah dia boleh menjualnya sebelum memberitahukan kepada teman syarikatnya. Jika dia setuju, dibelinya. Jika tidak, baru dijual kepada orang lain”

Dalam Islam, seorang investor bisa menetapkan syarat:
“Dari Hakim putera Hizam ra, ia berkata: “Bahwasanya ia memberikan syarat kepada seseorang yang ingin menyerahkan hartanya sebagai modal. Katanya: Janganlah kamu jadikan hartaku padabinatang, jangan dibawa ke laut, jangan pula menyeberang sungai. Jika kamu melanggarnya, kamu harus mengganti hartaku ini” (HR Imam Daruquthni)

Pada Bursa saham yang ada, seorang pemegang saham minoritas tidak bisa melakukan hal itu. Ketika pemegang saham mayoritas merubah core business-nya menjadi lain, misalnya dari Asuransi menjadi perusahaan Dotcom dan nilai sahamnya menjadi hancur, pemegang saham minoritas tidak dapat mengambil kembali uangnya.

Haram Transaksi di Pasar Sekunder

Pada jual-beli saham pada pasar sekunder satu saham bisa ditawar oleh banyak orang baik beli atau jual pada harga yang berbeda, sehingga harganya tidak menentu. Hal ini haram karena melanggar larangan Nabi:
“Dari Abu Hurairah ra katanya, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Janganlah seorang Muslim mengajukan tawaran kepada barang yang sedang ditawar orang lain” (HR Muslim)
Seorang investor yang membeli saham kemudian akhirnya dijual lewat Bursa Saham guna mendapatkan capital gain ketika harga naik meski mungkin menjualnya dalam rentang waktu yang lama, tak ubahnya seperti seorang penimbun/spekulator:

“Dari Ma’mar bin Abdullah ra, Rasulullah bersabda: “Tidak ada yang menimbun (agar harga naik), kecuali orang yang berdosa” (HR Muslim)
Sesuatu itu haram jika mudlorotnya lebih besar dari manfaatnya. Jual-beli sesuatu yang haram adalah haram juga.
Rasulullah s.a.w. bersabda sebagai berikut:
“Sesungguhnya Allah dan RasulNya telah mengharamkan memperdagangkan arak, bangkai, babi dan patung.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
“Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan sesuatu, maka Ia haramkan juga harganya.” (Riwayat Ahmad dan Abu Daud)

Bagaimana dengan Pasar Modal Syariah (PMS)

Mungkin dengan dihilangkannya Jual-beli saham pada pasar sekunder, orang-orang yang ingin mendirikan Pasar Modal Syariah akan kecewa, karena PMS tidak akan mendapatkan fee jual-beli saham yang nilainya lumayan (bisa mencapai 300 juta per hari). Bagaimana PMS bisa hidup setelah IPO?

Jika PMS berfokus pada penanaman modal untuk perusahaan-perusahaan baru di pasar perdana, maka banyak perusahaan akan berdiri, lapangan kerja terbuka luas, produksi bertambah banyak sehingga bisa memenuhi kebutuhan nasional (Indonesia bisa jadi mandiri), keuntungan terus bertambah, pada akhirnya ini akan menguntungkan PMS sendiri.

Sesungguhnya, pendirian Pasar Modal Syariah tentu didasarkan pada pertimbangan bahwa Pasar Modal Konvensional tidak atau kurang memenuhi syariah. Jika PMS ternyata sama dengan Pasar Modal Konvensional, untuk apa kita mendirikan PMS?

Tidak semua yang datang dari Barat itu jelek, dan tidak semua yang datang dari Barat itu baik. Oleh karena itu, tidak sepatut-nya umat Islam langsung mengadopsi segala hal dari Barat,  dengan memberikan label kata “Syariah” sehingga jadi jual-beli saham syariah. Jangan sampai kita mengikuti apa yang datang dari Barat secara membabi-buta, sehingga yang buruknya pun kita ikuti sebagaimana yang diperingatkan oleh Nabi SAW:
“Sungguh kalian akan mengikuti sunnah (cara/metode) orang-orang yang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sampai sekalipun mereka memasuki lubang biawak, kalian tetap mengikutinya.” Kami bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu orang Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab: “Siapa lagi (kalau bukan mereka)?” (HR Bukhari dan Muslim)

Islam punya konsep sendiri. Hal dari Barat bisa diterima jika memang tidak bertentangan dan sesuai dengan sumber ajaran Islam, yaitu Al Qur’an dan Hadits.
Dari Nu’man bin Basyir ra diberitakan bahwa Nabi bersabda: “Sebenarnya yang halal itu jelas dan yang haram jelas pula. Di antara yang halal dan haram itu ada yang syubhat (tidak jelas), banyak orang tak mengetahuinya. Siapa yang menghindar dari syubhat, dia telah memelihara agama dan kehormatannya. Siapa yang terkena syubhat, maka dia terkena yang haram…” (HR Muslim)

Dari hadits di atas, kesimpang-siuran tentang status jual-beli saham di pasar sekunder menjadi jelas.  Jual-beli saham itu jika tidak haram, dia adalah syubhat, karena itulah orang berbeda pendapat. Meninggalkan hal syubhat itu lebih utama ketimbang mengerjakannya, apalagi jika bahayanya lebih besar dari manfaatnya. (AF Consulting)

Minggu, 24 Oktober 2010

PANDUAN PRAKTIS PENDIRIAN KOPERASI SYARIAH ATAU BMT

Panduan ini merupakan langkah awal untuk memberikan gambaran dan pemahaman praktis dalam mendirikan suatu lembaga keuangan mikro (LKM)   khususnya Koperasi Syariah atau BMT.
Pendirian BMT  ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya pada khususnya dan masyarakat pada umumnya dengan menggunakan prinsip-prinsip syariah.

APA ITU BMT ?

BMT adalah ringkasan dari Baitul Mal wat tamwil. Sebuah Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang memadukan kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat setempat secara syariah.
BMT sesuai namanya terdiri dari dua fungsi utama :
  1. Baitul mal (rumah harta), menerima titipan dana zakat, infak dan sedekah serta mengoptimalkan distribusinya sesuai dengan peraturan dan amanahnya.
  2. Baitul tamwil (rumah pengembangan harta), melakukan kegiatan pengembangan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha mikro dan kecil dengan antara lain mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonomi.
Dengan demikian Kegiatan BMT adalah mengembangkan usaha-usaha produktif dengan mendorong kegiatan menabung dan melakukan pembiayaan serta juga dapat berfungsi sosial dengan menerima titipan dana sosial untuk kepentingan masyarakat, seperti dana zakat, infaq dan sodaqoh dan mendistribusikannya dengan prinsip pemberdayaan masyarakat sesuai dengan peraturan dan amanahnya.

APA CIRI UTAMA BMT?

  1. Berorientasi bisnis, mencari laba bersama, meningkatkan pemanfaatan ekonomi paling bawah untuk anggota dan lingkungannya.
  2. Bukan lembaga sosial tetapi dimanfaatkan untuk mengaktifkan penggunaan dana sumbangan social, zakat, infaq, dan sodaqoh, bagi kesejahteraan orang banyak secara berkelanjutan.
  3. Manajemen BMT adalah profesional, setidaknya terdapat Manajer, Administrasi Pembukuan, dan Petugas Lapangan.

VISI BMT
Menjadi lembaga keuangan yang mandiri, sehat dan kuat,yang kualitas ibadah anggotanya meningkat sehingga mampu berperan untuk mensejahterakan kehidupan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

MISI BMT
Mewujudkan gerakan anggota dan masyarakat dalam memerangi kemiskinan praktek rentenir,  ekonomi ribawi serta gerakan pemberdayaan dalam meningkatkan kegiatan ekonomi sektor riil.

MENGAPA HARUS MENDIRIKAN DAN MENGEMBANGKAN BMT?

UMUM

  1. Lebih dari 80 % dari struktur pengusaha nasional kita adalah usaha mikro (kecil bawah) yang salah satu faktor kesulitannya adalah masalah permodalan, sementara mereka kurang mengenal bank atau lembaga Keuangan dan atau sulit mengaksesnya.
  2. Bank segan “mencapai” mereka karena biaya bank (over head cost ), ”terlalu mahal “ untuk pembiayaan kecil-kecilan dan banyak jumlahnya.
  3. Sebagian besar penduduk golongan ekonomi lemah dan tertinggal terjerat rentenir dan bunga tinggi dengan prosedur yang gampang dan sederhana
  4. Aturan sistem usaha sangat sederhana sehingga dapat dikembangkan sesuai dengan format ideal yang diinginkan.
KHUSUS

  1. Melembagakan secara formal ide Ta’awun Finance House sehingga lebih terarah dalam pengembangan, profesional dan dapat dipertanggungjawabkan.
  2. Pengejawantahan secara riil konsep ekonomi syariah di masyarakat sebagai kontribusi nyata BMT dalam mengembangkan ekonomi syariah.
  3. Media mensinergikan potensi anggota BMT  yang memiliki berbagai macam kompetensi sehingga mampu saling menguatkan para anggota dan hubungan silaturahim.
  4. Membangun sumber dana berkelanjutan bagi mendukung gerak dakwah BMT dan mendukung proses kaderisasi dan dakwah ekonomi syariah yang dilaksanakan oleh Para anggota
  5. Menyediakan fasilitas investasi yang menarik dan pembiayaan kepada para anggota.
  6. Menjadi salah satu alternatif tempat magang dan penelitian serta aktifitas lainnya bagi anggota BMT

MODAL AWAL BMT

Modal awal BMT berasal dari modal para pendiri. Namun sejak awal anggota pendiri BMT/harus terdiri dari minimal 20 orang yang mereka secara riil memberikan peran partisipasinya. Masyarakat yang bersedia menjadi anggota BMT harus menyetorkan Simpanan Pokok sebesar Rp 1.000.000,- /Anggota.
  
BADAN HUKUM BMT

BMT didirikan dalam bentuk Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) atau Unit Jasa Keuangan Syariah (UJKS) bila menginduk kepada koperasi serba usaha.
BMT dapat didirikan dan dikembangkan dengan suatu proses legalitas hukum yang bertahap.  Awalnya dapat dimulai sebagai kelompok swadaya masyarakat dan jika telah mencapai nilai aset tertentu segera menyiapkan diri ke dalam badan hukum koperasi.

PROSPEK BMT

Dari kiprah yang berusaha tumbuh dari bawah, tampak jelas peran BMT dalam membangun ekonomi masyarakat. Secara ringkasan tujuan dan dampak positif yang ditimbulkan antara lain:
  1. Menyalurkan dana untuk usaha bisnis dengan sifat murah, mudah dan bersih.
  2. Memperbaiki modal, artinya identik dengan upaya peningkatan taraf hidup.
  3. Tempat berlatih manajemen ekonomi dimasyarakat bawah.
  4. Menjadi perantara antara pemodal dan penabung dengan pengusaha mikro.
  5. Sangat mudah didirikan karena tanpa modal besar, peralatan dan kantor mewah.
  6. Sudah ada contoh best practices.
  7. Dapat mengembangkan jenis produk yang sesuai prinsip syariah dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat secara fleksibel.

TAHAPAN PENDIRIAN  BMT

  1. Perlu ada pemrakarsa, motivator yang telah mengetahui BMT. Pemrakarsa mencoba meluaskan jaringan ke para sahabat dengan menjelaskan tentang BMT  dan peranannya dalam mengangkat harkat dan martabat masyarakat.
  2. Diantara pemrakarsa membentuk Panitia Penyiapan Pendirian BMT (P3B) dilokasi yang dimaksud.
  3. P3B mencari modal awal atau modal perangsang sebesar Rp 10 juta – 30 juta, agar BMT memulai operasi dengan syarat modal tsb. Modal dapat berasal dari perorangan, lembaga , yayasan dan sumber lainnya.
  4. P3B bisa juga mencari modal-modal pendiri(simpanan pokok khusus semacam saham).  Masing-masing para pendiri perlu membuat komitmen tentang peranan masing-masing.
  5. Jika calon pemodal-pemodal pendiri telah ada, maka dipilih pengurus yang ramping (max 5 orang) yang akan mewakili pendiri dalam mengarahkan kebijakan BMT.
  6. P3B atau pengurus jika telah ada mencari dan memilih calon pengelola BMT.
  7. Mempersiapkan legalitas hukum dengan menghubungi kepala kantor/dinas koperasi dan pembinaan usaha kecil di ibukota kabupaten atau kota.
  8. Melatih calon pengelola sebaiknya juga diikuti oleh salah satu pengurus dengan menghubungi PINBUK.
  9. Melaksanakan persiapan-persiapan sarana kantor dan berkas administrasi yang diperlukan.

STRUKTUR ORGANISASI BMT

Organisasi BMT yang paling sederhana harus terdiri dari  rapat anggota, badan pengawas, badan pengawas syariah , badan pengurus, badan pengelola.
Pada banyak kasus dalam prakteknya di BMT badan pengurus dan badan pengelola adalah sama.

Badan Pengawas
Adalah badan yang berwenang dalam menetapkan kebijakan operasional BMT.  Yang masuk dalam kebijakan operasional adalah antara lain memilih badan pengelola, menelaah dan memeriksa pembukuan BMT dan memberikan saran kepada badan pengelola berkenaan dengan operasional BMT.

Badan Pengawas Syariah
Adalah badan yang dibentuk untuk melakukan fungsi pengawasan kesyariahan.  Badan ini bekerja sesuai dengan pedoman-pedoman yang telah ditentukan oleh Dewan Syrariah Nasional (DSN).

Pengelola
Adalah sebuah badan yang mengelola BMT dan dipilih oleh badan pengawas.
Persyaratannya sebagai berikut:
  1. Memiliki kemampuan manajerial yang baik.
  2. Memiliki kemampuan kepemimpinan yang efektif.
  3. Memiliki akhlak dan moral yang baik.
  4. Memiliki kemampuan dan wawasan perkoperasian.   (AF Consulting)

Rabu, 06 Oktober 2010

KERANGKA BANGUN EKONOMI ISLAMI

Bangunan ekonomi Islami didasarkan atas lima nilai yang universal, yaitu Tauhid, Keadilan, Kenabian,  Pemerintahan dan Hasil.  Kelima nilai ini menjadi dasar dalam membangun teori -teori ekonomi islami.

Dari kelima nilai-nilai ini dibangunlah tiga prinsip turunan yang menjadi ciri-ciri dan cikal bakal sistem ekonomi Islami, yaitu kepemilikan multi jenis, kebebasan berusaha, keadilan sosial.

Diatas semua nilai dan prinsip yang diatas, maka dibangunlah konsep yang memayungi semuanya yaitu konsep akhlak. Akhlak menempati posisi yang puncak karena inilah yang menjadi tujuan islam dan dakwah para nabi, yakni untuk menyempurnakan akhlak manusia.  Akhlak inilah yang menjadi panduan para pelaku ekonomi dan bisnis dalam melakukan aktivitasnya.


Lima Fondasi

Tauhid
Tauhid merupakan fondasi ajaran islam.  Dengan tauhid manusia menyaksikan bahwa tiada sesuatupun yang layak disembah selain Allah dan tidak ada pemilik bumi dan langit dan isinya selain daripada Allah.  Tujuan diciptakan manusia adalah untuk beribadah kepadaNya. Dan kepadaNya kita akan mempertanggungjawabkan segala perbuatan kita, termasuk aktivitas ekonomi dan bisnis.

Keadilan
Salah satu sifat Allah adalah Adil. Dia tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap makhlukNya secara zalim. Dalam Islam adil didefinisikan sebagai tidak menzalimi dan tidak dizalimi.  Implikasi ekonomi dari nilai ini adalah bahwa pelaku ekonomi  tidak boleh mengejar keuntungan pribadi dengan merugikan orang lain.

Kenabian
Fungsi rasul adalah untuk menjadi model yang terbaik untuk diteladani manusia agar mendapat keselamatan di dunia dan akherat. Umat Islam telah mempunyai model yang sempurna yaitu Nabi Muhammad Saw.  Sifat-sifat sang model tentunya harus diteladani oleh manusia pada umumnya dan pelaku ekonomi dan bisnis pada khususnya. Yaitu sbb,  Siddiq (jujur), Amanah (tanggungjawab), Fathanah (intelektual), Tabligh (komunikasi).
Pemerintahan
Dalam Islam, pemerintah memainkan peranan yang kecil, tetapi sangat penting dalam perekonomian.  Peran utamanya agar ekonomi berjalan sesuai syariah dan memastikan tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak manusia.

Ma’ad (Hasil)
Ma’ad diartikan sebagai imbalan /ganjaran.  Implikasi nilai ini dalam kehidupan ekonomi dan bisnis adalah seperti yang  diformulasikan oleh Imam Ghozali yang menyatakan bahwa motivasi para pelaku bisnis adalah untuk mendapatkan laba. Laba di dunia dan di akherat.  Karena itu konsep profit mendapat legitimasi dalam Islam.


Tiga Pilar

Kepemilikan Multijenis
Dalam Islam berlaku kepemilikan multi jenis yaitu mengakui berbagai macam bentuk kepemilikan, baik oleh swasta, negara atau campuran. Pemilik langit dan bumi beserta isinya adalah Allah, manusia diberikan amanah untuk mengelola. Jadi manusia dianggap pemilik sekunder.

Kebebasan berusaha
Kebebasan berusaha, khususnya bagi pelaku ekonomi dan bisnis akan menciptakan mekanisme pasar dalam perekonomian. Karena itu mekanisme pasar suatu keharusan dalam Islam.

Keadilan sosial
Dalam Islam, keadilan diartikan dengan suka sama suka dan satu pihak tidak menzalimi pihak yang lain.  Islam menganut sistem mekanisme pasar, namun tidak semuanya diserahkan ke mekanisme pasar.  Karena segala distorsi yang muncul dalam perekonomian tidak semuanya dapat diselesaikan, maka Islam membolehkan adanya beberapa intervensi.


Tujuan (Goal)

Akhlak
Dalam menjalankan aktivitas ekonomi dan bisnis harus ada manusia yang berperilaku dan berakhlak mulia dan profesional. Ini mungkin salah satu rahasia sabda Nabi Saw: ”Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan Akhlak”  Karena akhlak menjadi indikator baik buruknya manusia dalam menjalankan aktivitas ekonominya.

3 MAZHAB EKONOMI ISLAM KONTEMPORER


Mazhab Baqir as-sadr
Mazhab ini dipelopori oleh Baqir as-sadr dengan bukunya yang fenomenal yaitu Iqtishaduna (ekonomi kita).  Mazhab ini berpendapat bahwa ilmu ekonomi tidak pernah bisa sejalan dengan islam.  Ekonomi tetap ekonomi dan islam tetap islam.  Keduanya tidak akan pernah dapat dipersatukan karena keduanya berasal dari filosofi yang saling kontradiktif.  Yang satu anti islam sedangkan yang lainnya Islam.

Menurut mereka perbedaan filosofi ini berdampak pada perbedaan cara pandang keduanya dalam melihat masalah ekonomi.  Menurut ilmu ekonomi, masalah ekonomi muncul karena adanya keinginan manusia yang tidak terbatas dan ketersediaan sumberdaya yang terbatas. Mazhab Baqir menolak pernyataan ini, karena menurut mereka Islam tidak mengenal sumberdaya yang terbatas.  Seperti yang ada di dalam Alquran ” Sungguh telah kami ciptakan segala sesuatu dalam ukuran yang setepat-tepatnya (54:49).  Oleh karena itu segala sesuatunya telah terukur dengan sempurna, Allah telah memberikan sumberdaya yang cukup bagi seluruh manusia di dunia.  Pendapat bahwa keinginan manusia tidak terbatas juga ditolak.  Contohnya Manusia akan berhenti minum jika dahaganya telah terpuaskan.

Mazhab Baqir berpendapat bahwa masalah ekonomi muncul karena adanya distribusi yang tidak merata dan adil sebagai akibat sistem ekonomi yang membolehkan exploitasi dari pihak yang kuat terhadap yang lemah.  Dimana yang kuat memiliki akses terhadap sumberdaya sehingga menjadi sangat kaya sedangkan yang lemah tidak meiliki akses ke sumberdaya sehingga menjadi sangat miskin.  Oleh karena itu masalah ekonomi bukan karena sumberdaya yang terbatas tetapi karena keserakahan manusia yang tidak terbatas.

Oleh karena itu menurut mazhab ini istilah ekonomi islami adalah istilah yang menyesatkan dan kontradiktif. Sebagai gantinya ditawarkan dengan istilah yang berasal dari filosofi islam yaitu Iqtishad, yang secara harfiah berarti keadaan sama seimbang.

Semua teori yang dikembangkan oleh ilmu ekonomi konvensional ditolak dan dibuang.  Sebagai gantinya maka disusunlah teori-teori ekonomi baru yang digali dari Alquran dan Assunah.


Mazhab Mainstream
Mazhab mainstrean berbeda pendapat dengan mazhab Baqir.  Mazhab ini justru setuju bahwa masalah ekonomi muncul dikarenakan sumberdaya yang terbatas yang dihadapkan pada keinginan manusia yang tidak terbatas.  Seperti yang disabdakan Nabi Muhammad Saw.  Bahwa manusia tidak akan pernah puas. Bila diberikan emas satu lembah, ia akan meminta emas dua lembah. Bila diberikan dua lembah maka dia akan meminta tiga lembah dan seterusnya sampai ia masuk kubur.

Dengan demikian, pandangan mazhab ini tentang masalah ekonomi hampir tidak ada bedanya dengan pandangan ekonomi konvensional. Perbedaannya terletak pada cara menyelesaikan masalah tersebut.  Dilema sumberdaya terbatas dihadapkan dengan keinginan manusia yang tidak terbatas memaksa manusia itu melakukan pilihan-pilihan atas keinginannya.  Kemudian manusia membuat skala prioritas dalam memenuhi keinginannya.

Dalam Ekonomi konvensional pemilihan sekala prioritas berdasarkan selera masing-masing pribadi.  Manusia boleh mempertimbangkan tuntutan agama atau boleh juga mengabaikannya.  Tetapi dalam ekonomi islami pilihan tidak dapat dilakukan semaunya, harus berdasarkan tuntunan Alquran dan Assunah.

Mazhab ini berpendapat mengambil hal-hal yang baik dan bermanfaat yang dihasilkan oleh bangsa dan budaya non islam tidak diharamkan.  Nabi bersabda hikmah atau ilmu itu bagi umat islam adalah ibarat barang yang hilang.  Dimana saja ditemukan maka umat islam paling berhak mengambilnya.


Mazhab Alternatif – Kritis
Mazhab ini mengkritik dua mazhab sebelumnya.  Mazhab Baqir dikritik sebagai mazhab yang berusaha menemukan sesuatu yang baru yang sebenarnya telah ditemukan oleh orang lain.  Menghancurkan teori yang lama dengan menggantinya dengan teori yang baru.  Sedangkan mazhab mainstream dikritiknya sebagai jiplakan dari ekonomi neoklasik dengan menghilangkan variabel riba dan memasukkan variabel zakat dan niat.

Mazhab ini adalah mazhab kritis.  Meraka berpendapat bahwa analisis kritis bukan saja harus dilakukan terhadap sosialisme dan kapitalisme, tetapi juga terhadap ekonomi islam itu sendiri.  Mereka meyakini bahwa Islam itu benar tetapi ekonomi islami belum tentu benar karena ekonomi islami adalah hasil tafsiran manusia atas Alquran dan Assunnah.
Oleh karena itu nilai kebenarannya tidaklah mutlak.  Teori-teori yang diajukan oleh ekonomi islami harus selalu diuji kebenarannya sebagaimana yang dilakukan terhadap ekonomi konvensional.

Selasa, 21 September 2010

Sulitnya Penerapan Akad Mudharabah Pada Sistem Lembaga Keuangan Syariah

Pengantar.    Sudah  menjadi rahasia umum dikalangan masyarakat Islam khususnya para pemerhati ekonomi Islam atau orang-orang yang mempunyai kepentingan dengan bank Islam bahwa praktek lembaga keuangan syariah (LKS) khususnya  perbankan syariah lebih banyak menggunakan akad Murabahah ( yaitu hampir lebih 70 %) dibandingkan dengan menggunakan akad Mudharabah.     Sedangkan pada Bank Mega Syariah  hampir 80% masih menggunakan akad murabahah  dari total pembiayaan Rp 2,2 Trilyun. Pada prakteknya sedikit sekali lembaga keuangan syariah baik pada  perbankan maupun lembaga keuangan Islam lainnya yang  menggunakan sistem Mudharabah (bagi hasil). Dari data tercatat bahwa secara nasional untuk pembiayaan hanya sekitar 7 % yang menggunakan sistem Mudharabah (PLS) dan 67 % menggunakan sistem Murabahah. (Munawar et al,1998).  Hal ini karena berkaitan dengan resiko yang cukup tinggi.

Padahal Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang berinteraksi sosial dan saling membutuhkan satu sama lainnya. Ada yang memiliki kelebihan harta namun tidak memiliki waktu dan keahlian dalam mengelola dan mengembangkannya, di sisi lain ada yang memiliki skill kemampuan namun tidak memiliki modal. Dengan berkumpulnya dua jenis orang ini diharapkan dapat saling melengkapi dan mempermudah pengembangan harta dan kemampuan tersebut. Untuk itulah Islam memperbolehkan syarikat dalam usaha diantaranya mudharabah

Dalam dunia perbankan prinsip bagi hasil (profit sharing)  merupakan karakteristik umum dan landasan dasar bagi operasional bank Islam secara keseluruhan.  Secara syariah, prinsipnya berdasarkan kaidah al-mudharabah.  Berdasarkan prinsip ini, bank Islam akan berfungsi sebagai mitra, baik dengan penabung maupun dengan pengusaha yang meminjam dana.

Definisi Mudharabah
Mudharabah berasal dari kata dharb yang artinya memukul atau berjalan. Istilah ini biasa dipakai oleh penduduk Irak, sementara penduduk Hijaz lebih suka menggunakan istilah qirodh atau muqaradhah. Dalam kaitannya dengan muamalah, kata dharb disini lebih tepat diartikan pada proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Sedangkan secara teknis, mudharabah didefinisikan sebagai akad kerja sama antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan 100% modal sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola (mudharib). Apabila dalam usahanya diperoleh keuntungan (profit) maka keuntungan tadi kemudian dibagi antara shahibul maal dan mudharib dengan prosentase nisbah atau rasio yang telah disepakati sejak awal perjanjian/kontrak. Sedangkan apabila usaha tersebut merugi maka kerugian tersebut akan ditanggung sepenuhnya oleh pihak shahibul maal sepanjang hal itu disebabkan oleh risiko bisnis (bussiness risk) dan bukan karena kelalaian mudharib (character risk).

Akad mudharabah ini berbeda dengan sistem bunga (interest) mengingat sifat pengembalian (return) yang tidak pasti baik dari segi jumlah maupun segi waktu sehingga akad ini dikategorikan sebagai Natural Uncertainty Contract (NUC). Dalam bahasa lain, produk ini disebut juga dengan Trust Financing atau Trust Investment karena kontrak ini hanya diberikan kepada pengusaha yang benar-benar credible dan sudah teruji amanahnya.

Landasan Syariah
1. Al-Qurâ'an
(a). dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT..(QS. Al Muzammil ayat 20). (b). Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah SWT(QS. Al Jumuah ayat 10). (c). Tidak ada dosa (halangan) bagi kamu untuk mencari karunia Tuhanmu(QS. Al Baqarah ayat 198).
2. Al-Hadits
Dari Shalih bin Suhaib ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda, Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan : jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual (HR. Ibnu Majah).

Dalam istilah para ulama  Mudharabah memiliki pengertian[3]: Pihak pemodal (Investor) menyerahkan sejumlah modal kepada pihak pengelola untuk diperdagangkan. Dan berhak mendapat bagian tertentu dari keuntungan.  Dengan kata lain Al Mudharabah adalah akad (transaksi) antara dua pihak dimana salah satu pihak menyerahkan harta kepada yang lain agar diperdagangkan dengan pembagian keuntungan diantara keduanya sesuai dengan kesepakatan.

Para ulama juga sepakat bahwa sistem penanaman modal ini dibolehkan. Dasar hukum dari sistem jual beli ini adalah ijma’ ulama yang membolehkannya. Seperti dinukilkan Ibnu Mundzir, Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah dan lainnya. Islam mensyariatkan akad kerja sama Mudharabah untuk memudahkan orang, karena sebagian mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelolanya dan disana ada juga orang yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola dan mengembangkannya. Maka Syariat membolehkan kerja sama ini agar mereka bisa saling mengambil manfaat diantara mereka. Shohib Al Mal (investor) memanfaatkan keahlian Mudhorib (pengelola) dan Mudhorib (pengelola) memanfaatkan harta dan dengan demikian terwujudlah kerja sama harta dan amal. Allah Ta’ala tidak mensyariatkan satu akad kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan.

Para ulama membagi Al Mudharabah menjadi dua jenis:
  1. Al Mudharabah Al Muthlaqah (Mudharabah bebas). Pengertiannya adalah sistem mudharabah dimana pemilik modal (investor/Shohib Al Mal) menyerahkan modal kepada pengelola tanpa pembatasan jenis usaha, tempat dan waktu dan dengan siapa pengelola bertransaksi. Jenis ini memberikan kebebasan kepada Mudhorib (pengelola modal) melakukan apa saja yang dipandang dapat mewujudkan kemaslahatan.
  2. Al Mudharabah Al Muqayyadah (Mudharabah terbatas). Pengertiannya pemilik modal (investor) menyerahkan modal kepada pengelola dan menentukan jenis usaha atau tempat atau waktu atau orang yang akan bertransaksi dengan Mudharib. Jenis kedua ini diperselisihkan para ulama keabsahan syaratnya, namun yang rajih bahwa pembatasan tersebut berguna dan tidak sama sekali menyelisihi dalil syar’i, itu hanya sekedar ijtihad dan dilakukan dengan kesepakatan dan keridhoan kedua belah pihak sehingga wajib ditunaikan.
Perbedaan antara keduanya terletak pada pembatasan penggunaan modal sesuai permintaan investor.

Mudharib Melaksanakan Mudharabah Ke-Dua
Pengertian mudharib melaksanakan mudharabah kedua adalah bahwa ia selain melakukan akad mudharabah dengan shaibul maal maka ketika ia membuat perjanjian dengan pihak lain dimana kedudukan ia sebagai shahibul maal maka ia dikatakan melaksanakan mudharabah kedua, dalam dunia perbankan disebut juga sebagai pembiayaan. Praktek seperti ini banyak dijumpai dalam bisnis perbankan syariah dimana pihak bank (mudharib) dalam perniagaannya melakukan akad mudharabah kembali kepada orang lain dengan modal yang ia telah terima dari nasabah bank (shahibul maal). 

Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat tentang kebolehan mudharib melaksanakan mudharabah kedua. Menurut madzhab Hanafi hal ini tidak diperbolehkan kecuali jika modal itu diserahkan kepada pemilik modal. Golongan ini berpendapat bahwa mudharib pertama tidak bertanggung jawab terhadap modal yang diserahkannya kepada mudharib kedua kecuali jika yang terakhir ini telah benar-benar melaksanakan perniagaan dan mendapatkan keuntungan atau kerugian.

Kalau memang dari semua keterangan diatas bahwa akad mudharabah itu penting bagi kemashlahatan umat dan memudahkan dalam bekerjasama, lalu yang menjadi pernyataan adalah kenapa pada tataran implementasi hal ini sulit sekali diwujudkan?

       Beberapa hal-hal yang menyebabkan sulitnya akad mudharabah di terapkan, antara lain :
  1. Pada kenyataannya praktek mudharabah ini sulit sekali dilakukan atau dipraktekan karena masih tingginya resiko pembiayaan pada  jenis akad ini.
  2. Bagaimana perilaku atau respon masyarakat(nasabah) terhadap sistem Mudharabah yang digunakan pada koperasi syariah.
  3. Kesiapan SDI lembaga keuangan syariah dalam memahami dunia usaha dan terjun langsung di sektor riel.
  4. Resiko pada pembiayaan sistem mudharabah lebih tinggi dibandingkan dengan produk pembiayaan lainnya (Murabahah).
Sedangkan Komarudin dalam tesisnya  menjelaskan bahwa pelaksanaan prinsip syariah pada pembiayaan mudharabah belum dilaksanakan secara menyeluruh.  Hal ini bisa dilihat dari :
Pembiayaan yang paling banyak terjadi adalah murabahah

Penentuan nisbah bagi hasil yang selalu menyetarakan  dengan bunga konvensional, menetapkan jaminan sebagai syarat utama dan bank tidak berani memberikan pembiayaan mudharabah secara murni.

Kalau dilihat dari segi akad ditemukan juga bahwa:
  1. Kedudukan Bank lebih dominan dari pada mudharib.
  2. Apabila terjadi force majeur nasabah harus membayar pembiayaannya.
  3. Bank menetapkan agunan sebagai syarat utama dalam memberikan pembiayaannya.
  4. Bank berwenang secara sepihak menentukan harga jual dari barang agunan dalam hal penjualan barang  agunan karena pembiayaan mudharib macet.
  5. Kekayaan mudharib dapat disita.
  6. Tidak adanya klausul yang menyatakan bank mengalami kerugian ketika terjadi force majeur pada mudharib.  
Pengamat ekonomi syariah Viethzal rivai menyatakan bahwa akad yang cukup banyak mengalami penyimpangan adalah akad mudharabah. Untuk itu pada penerapannya perlu sekali dilakukan secara hati-hati

Kesimpulan  
Kendala-kendala yang dihadapi dalam melaksanakan prinsip-prinsip syariah dalam  pembiayaan mudharabah diantaranya adalah pertama, perundang-undangan belum mengatur secara keseluruhan tentang prinsip-prinsip bank syariah. Kedua, sikap pengelola bank syariah yang selalu menyetarakan nisbah bagi hasil dengan bunga di bank konvensional, sikap nasabah yang selalu ingin biaya tetap serta terukur dan minimnya SDM yang menguasai perbankan syariah.

Senin, 20 September 2010

Menerapkan Manajemen Resiko Pada Lembaga Keuangan Mikro Koperasi Syariah (BMT)

Pendahuluan. Di Indonesia, pelaksanaan sistem ekonomi Islam yang sudah dimulai sejak awal tahun 90 an semakin semarak dengan bertambahnya jumlah lembaga keuangan islam baik yang bank maupun non bank. Salah satu lembaga keuangan islam yang non bank adalah Baitul Mal wat Tamwil (BMT) yang berorientasi pada masyarakat islam bagian bawah yang sekarang dikenal sebagai koperasi syariah. Kelahiran BMT merupakan solusi bagi kelompok ekonomi masyarakat bawah yang membutuhkan dana bagi pengembangan usaha kecil. BMT merupakan lembaga ekonomi rakyat kecil yang berupaya mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi pengusaha kecil dengan berdasarkan prinsip syariah dan koperasi.

Dalam Islam, koperasi tergolong sebagai syirkah/syarikah. Lembaga ini adalah wadah kemitraan, kerjasama, kekeluargaan, dan kebersamaan usaha yang sehat, baik, dan halal. Dan, lembaga yang seperti itu sangat dipuji Islam seperti dalam firman Allah, “Dan bekerjasamalah dalam kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah saling bekerjasama dalam dosa dan permusuhan.” (Al-Maidah: 2). Juga surat An-Nisa’: 12 dan Shaad: 24. Bahkan, Nabi saw. tidak sekadar membolehkan, juga memberi motivasi dengan sabdanya dalam hadits Qudsi, “Aku (Allah) merupakan pihak ketiga yang menyertai (untuk menolong dan memberkati) kemitraan antara dua pihak, selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak lainnya. Jika salah satu pihak telah melakukan pengkhianatan terhadap mitranya, maka Aku keluar dari kemitraan tersebut.” (Abu Daud dan Hakim). Beliau juga bersabda, “Allah akan mengabulkan doa bagi dua orang yang bermitra selama di antara mereka tidak saling mengkhianati.” (Al-Bukhari)

Azas usaha Koperasi Syariah berdasarkan konsep gotong royong, dan tidak dimonopoli oleh salah seorang pemilik modal. Begitu pula dalam hal keuntungan yang diperoleh maupun kerugian yang diderita harus dibagi secara sama dan proporsional.

Kini, koperasi sebagai organisasi ekonomi berbasis orang atau keanggotaan (membership based association), menjadi substantive power perekonomian negara-negara maju. Misalnya Denmark, AS, Singapura, Korea, Jepang, Taiwan, dan Swedia. Meskipun, awalnya hanya countervailing power (kekuatan pengimbang) kapitalisme swasta di bidang ekonomi yang didominasi oleh perusahaan berdasarkan modal persahaman (equity based association), yang sering jadi sapi perah pemilik modal (share holders) dengan sistem dan mekanisme targeting yang memeras pengelola.

Spirit membership based association teraktualisasikan dalam ‘tujuh kebaikan’. Buku-buku modern menyebutnya sebagai social capital (modal sosial). Di Indonesia semangat ekonomi kerakyatan berbasis modal sosial mulai menggejala di era Hindia Belanda di abad ke-19, tepatnya sejak diberlakukan UU Agraria 1870 yang menghapuskan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel). UU itu mendorong munculnya kepemilikan lokal (local ownership) dan inisiatif rakyat setempat yang mendapatkan porsi ekonomi yang signifikan.

Bung Hatta dalam buku Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun mengkategorikan social capital ke dalam 7 nilai sebagai spirit koperasi. Pertama, kebenaran untuk menggerakkan kepercayaan (trust). Kedua, keadilan dalam usaha bersama. Ketiga, kebaikan dan kejujuran mencapai perbaikan. Keempat, tanggung jawab dalam individualitas dan solidaritas. Kelima, paham yang sehat, cerdas, dan tegas. Keenam, kemauan menolong diri sendiri serta menggerakkan keswasembadaan dan otoaktiva. Ketujuh, kesetiaan dalam kekeluargaan.

Formula nilai yang dikemukakan Hatta ini parallel dengan apa yang diungkapkan oleh Kagawa, bapak koperasi Jepang dalam buku Brotherhood Economics, bahwa koperasi merupakan kemitraan ekonomi yang memacu kesejahteraan sosial bersama dan penghindaran dari isapan kekuatan-kekeuatan yang meraih kedudukan istimewa dalam ekonomi.

Defenisi Manajemen Resiko
Manajemen Resiko sebagai rangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan resiko yang timbul dari kegiatan usaha.


Bagaimana memperlakukan resiko
  1. Dihindari, apabila resiko tersebut masih dalam pertimbangan untuk diambil, misalnya karena tidak masuk kategori Resiko yang diinginkan Bank atau karena kemungkinan jauh lebih besar dibandingkan keuntungan yang diharapkan
  2. Diterima dan dipertahankan, apabila resiko berada pada tingkat yang paling ekonomis
  3. Dinaikkan, diturunkan atau dihilangkan, apabila resiko yang ada dapat dikendalikan dengan tata kelola yang baik, atau melalui pengoperasian exit strategy
  4. Dikurangi, misalnya dengan mendiversifikasi portofolio yang ada, atau membagi (share) resiko dengan pihak lain
  5. Dipagari (hedge), apabila resiko dapat dilindungi secara atificial, misalnya resiko dinetralisir sampai batas tertentu dengan instrumen derivatif.

Fungsi Manajemen Resiko
  1. Menetapkan arah dan risk appetite dengan mengkaji ulang secara berkala dan menyetujui risk exposure limits yang mengikuti perubahan strategi perusahaan
  2. Menetapkan limit umumnya mencakup pemberian kredit, penempatan non kredit, asset liability management, trading dan kegiatan lain seperti derivatif dan lain-lain
  3. Menetapkan kecukupan prosedur atau prosedur pemeriksaan (audit) untuk memastikan adanya integrasi pengukuran resiko, kontrol sistem pelaporan, dan kepatuhan terhadap kebijakan dan prosedur yang berlaku
  4. Menetapkan metodologi untuk mengelola resiko dengan menggunakan sistem pencatatan dan pelaporan yang terintegrasi dengan sistem komputerisasi sehingga dapat diukur dan dipantau sumber resiko utama terhadap organisasi Bank.
Efektifnya Koperasi Jasa Keuangan Syariah atau yang lebih dikenal dengan Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) dalam menyalurkan pembiayaan kepada usaha mikro ditunjukkan dengan terus meningkatnya jumlah dana yang bisa disalurkan, menjadikan lembaga ini perlu dikembangkan lebih pesat lagi. Penghimpunan dana menjadikan faktor penentu dalam mengembangkan jumlah asset maupun jumlah pembiayaan yang disalurkan. Sehingga berapa pun dana yang masuk ke dalam Koperasi syariah seolah tidak pernah cukup, berapa pun dana yang dimiliki oleh salalu habis disalurkan kepada usaha mikro. Sehingga sepertinya tidak ada koperasi syariah yang menolak jika diberikan dana bahkan jika diberikan dalam jumlah yang besar sekalipun.

Disatu sisi kebutuhan koperasi syariah akan dana yang cukup besar, disisi lain lembaga ini kesulitan menghimpun dana masyarakat karena tidak dilengkapi dengan perangkat yang memadai seperti lembaga penjamin simpanan. Dimana Koperasi syariah sering ‘disudutkan’ oleh lembaga keuangan lainnya karena bukan peserta LPS. Koperasi syariah harus bisa menyakinkan sendiri masyarakat, koperasi syariah juga harus bisa mengelola kepercayaan yang dimiliki. Akan tetapi koperasi syariah merupakan lembaga yang strategis. Karena :
  1. Koperasi syariah membiayai usaha mikro dimana sektor ini merupakan sektor ekonomi yang sangat produktif karena banyak menyerap tenaga kerja dan memiliki kontribusi yang besar terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB)
  2. Koperasi syariah memiliki peluang memiliki prospek keuntungan yang tinggi yang disebabkan usaha mikro yang dilayani memiliki efisiensi tinggi dikarenakan biaya tenaga kerja yang murah. Dengan prospek tersebut koperasi syariah jika dikelola dengan lebih baik akan menguntungkan dan bermanfaat bagi lebih banyak masyarakat usaha mikro.
Manajemen resiko yang baik merupakan langkah yang baik untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap koperasi syariah. Masyarakat perlu diyakinkan bahwa dana yang mereka percayakan ke koperasi syariah adalah aman dan bisa diambil saat dibutuhkan. Dalam manajemen resiko kita mengenal setidaknya 3 resiko yaitu resiko kredit, resiko pasar dan resiko operasional. Dalam penerapan manajemen resiko pembiayaan perlu dikembangkan lebih lanjut untuk memanage resiko lebih baik dengan perhitungan yang tepat.

Sebagaian besar pembiayaan koperasi syariah berasal dari ketidakmampuan nasabah untuk memenuhi kewajibannya, maka cara termudah untuk mengelola resiko pembiayaan dengan sikap kehati-hatian, Antipasi ini dapat dilakukan dengan memprediksi besarnya potensi kerugian yang akan dihadapi sebagai langkah awal, apalagi jaminan hanya berfungsi sebagai pencegah moral hazard. Koperasi syariah harus melakukan identifikasi mendalam tentang kemampuan dan karakter calon debitur sebelum memberikan pembiayaan.

Perlu komite Pembiayaan dan auditor internal sehingga resiko pembiayaan bisa diperhitungkan dengan lebih baik, serta meminumkan kesalahan prosedur dalam penyaluran pembiayaan.
Sangat perlu dilakukan pendampingan, khususnya pelatihan teknis menjalankan usaha kepada calon anggota yang akan mendapatkan pinjaman. Dengan begitu jumlah pinjaman yang diberikan bisa meningkat, dengan pendampingan koperasi syariah bisa mengenal nasabah lebih baik sehingga koperasi syariah juga bisa memberikan modal untuk usaha yang baru mulai.

Minimnya jaminan seperti Kendaraan bermotor yang dimiliki oleh usaha mikro. Pengelolaan resiko bisa dilakukan dengan mengembangkan jaminan tidak hanya kendaraan bermotor tetapi bisa aset yang ada dirumahnya atau tabungan dengan menganjurkan anggota menabung lebih dahulu.
Untuk pembiayaan yang sudah macet bisa diminimalisir dengan pendampingan dengan memberdayakan penggunaan dana sosial koperasi syariah sampai usaha anggota menjadi sehat dan dialokasi dana penghapusan pembiayaan dari biaya.

Resiko pasar berpengaruh kurang signifikan karena pembiayaan yang diterima berasal dari bank syariah atau pendanaan-pendanaan lain yang tidak terpengaruh oleh naik turunnya tingkat suku bunga. Resiko pasar bisa cukup bermasalah jika usaha nasabah bermasalah dengan kondisi pasar yang kurang menguntungkan sehingga angsuran ke koperasi syariahnya menunggak. Dikarenakan prinsip usaha dengan syariah koperasi syariah tidak mengeksekusi jaminan atas keterlambatan angsuran.

Resiko operasional dengan software aplikasi komputer yang sering bermasalah dan bahkan sering terjadi kesalahan. Sehingga dengan penanganan manajemen resiko yang baik koperasi syariah bisa menghimpun dana masyarakat yang menjadi anggota dan memberikan manfaat yang maksimal antara lain :
1. Menyediakan dana yang murah sehingga Usaha mikro bisa lebih menikmati nilai tambah atau keuntungan usahanya,
2. Menyediakan produk pembiayaan yang sesuai dengan kebutuhan UKM khususnya yang lebih bersifat ekuitas dan bagi hasil.