Selasa, 21 September 2010

Sulitnya Penerapan Akad Mudharabah Pada Sistem Lembaga Keuangan Syariah

Pengantar.    Sudah  menjadi rahasia umum dikalangan masyarakat Islam khususnya para pemerhati ekonomi Islam atau orang-orang yang mempunyai kepentingan dengan bank Islam bahwa praktek lembaga keuangan syariah (LKS) khususnya  perbankan syariah lebih banyak menggunakan akad Murabahah ( yaitu hampir lebih 70 %) dibandingkan dengan menggunakan akad Mudharabah.     Sedangkan pada Bank Mega Syariah  hampir 80% masih menggunakan akad murabahah  dari total pembiayaan Rp 2,2 Trilyun. Pada prakteknya sedikit sekali lembaga keuangan syariah baik pada  perbankan maupun lembaga keuangan Islam lainnya yang  menggunakan sistem Mudharabah (bagi hasil). Dari data tercatat bahwa secara nasional untuk pembiayaan hanya sekitar 7 % yang menggunakan sistem Mudharabah (PLS) dan 67 % menggunakan sistem Murabahah. (Munawar et al,1998).  Hal ini karena berkaitan dengan resiko yang cukup tinggi.

Padahal Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang berinteraksi sosial dan saling membutuhkan satu sama lainnya. Ada yang memiliki kelebihan harta namun tidak memiliki waktu dan keahlian dalam mengelola dan mengembangkannya, di sisi lain ada yang memiliki skill kemampuan namun tidak memiliki modal. Dengan berkumpulnya dua jenis orang ini diharapkan dapat saling melengkapi dan mempermudah pengembangan harta dan kemampuan tersebut. Untuk itulah Islam memperbolehkan syarikat dalam usaha diantaranya mudharabah

Dalam dunia perbankan prinsip bagi hasil (profit sharing)  merupakan karakteristik umum dan landasan dasar bagi operasional bank Islam secara keseluruhan.  Secara syariah, prinsipnya berdasarkan kaidah al-mudharabah.  Berdasarkan prinsip ini, bank Islam akan berfungsi sebagai mitra, baik dengan penabung maupun dengan pengusaha yang meminjam dana.

Definisi Mudharabah
Mudharabah berasal dari kata dharb yang artinya memukul atau berjalan. Istilah ini biasa dipakai oleh penduduk Irak, sementara penduduk Hijaz lebih suka menggunakan istilah qirodh atau muqaradhah. Dalam kaitannya dengan muamalah, kata dharb disini lebih tepat diartikan pada proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Sedangkan secara teknis, mudharabah didefinisikan sebagai akad kerja sama antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan 100% modal sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola (mudharib). Apabila dalam usahanya diperoleh keuntungan (profit) maka keuntungan tadi kemudian dibagi antara shahibul maal dan mudharib dengan prosentase nisbah atau rasio yang telah disepakati sejak awal perjanjian/kontrak. Sedangkan apabila usaha tersebut merugi maka kerugian tersebut akan ditanggung sepenuhnya oleh pihak shahibul maal sepanjang hal itu disebabkan oleh risiko bisnis (bussiness risk) dan bukan karena kelalaian mudharib (character risk).

Akad mudharabah ini berbeda dengan sistem bunga (interest) mengingat sifat pengembalian (return) yang tidak pasti baik dari segi jumlah maupun segi waktu sehingga akad ini dikategorikan sebagai Natural Uncertainty Contract (NUC). Dalam bahasa lain, produk ini disebut juga dengan Trust Financing atau Trust Investment karena kontrak ini hanya diberikan kepada pengusaha yang benar-benar credible dan sudah teruji amanahnya.

Landasan Syariah
1. Al-Qurâ'an
(a). dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT..(QS. Al Muzammil ayat 20). (b). Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah SWT(QS. Al Jumuah ayat 10). (c). Tidak ada dosa (halangan) bagi kamu untuk mencari karunia Tuhanmu(QS. Al Baqarah ayat 198).
2. Al-Hadits
Dari Shalih bin Suhaib ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda, Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan : jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual (HR. Ibnu Majah).

Dalam istilah para ulama  Mudharabah memiliki pengertian[3]: Pihak pemodal (Investor) menyerahkan sejumlah modal kepada pihak pengelola untuk diperdagangkan. Dan berhak mendapat bagian tertentu dari keuntungan.  Dengan kata lain Al Mudharabah adalah akad (transaksi) antara dua pihak dimana salah satu pihak menyerahkan harta kepada yang lain agar diperdagangkan dengan pembagian keuntungan diantara keduanya sesuai dengan kesepakatan.

Para ulama juga sepakat bahwa sistem penanaman modal ini dibolehkan. Dasar hukum dari sistem jual beli ini adalah ijma’ ulama yang membolehkannya. Seperti dinukilkan Ibnu Mundzir, Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah dan lainnya. Islam mensyariatkan akad kerja sama Mudharabah untuk memudahkan orang, karena sebagian mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelolanya dan disana ada juga orang yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola dan mengembangkannya. Maka Syariat membolehkan kerja sama ini agar mereka bisa saling mengambil manfaat diantara mereka. Shohib Al Mal (investor) memanfaatkan keahlian Mudhorib (pengelola) dan Mudhorib (pengelola) memanfaatkan harta dan dengan demikian terwujudlah kerja sama harta dan amal. Allah Ta’ala tidak mensyariatkan satu akad kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan.

Para ulama membagi Al Mudharabah menjadi dua jenis:
  1. Al Mudharabah Al Muthlaqah (Mudharabah bebas). Pengertiannya adalah sistem mudharabah dimana pemilik modal (investor/Shohib Al Mal) menyerahkan modal kepada pengelola tanpa pembatasan jenis usaha, tempat dan waktu dan dengan siapa pengelola bertransaksi. Jenis ini memberikan kebebasan kepada Mudhorib (pengelola modal) melakukan apa saja yang dipandang dapat mewujudkan kemaslahatan.
  2. Al Mudharabah Al Muqayyadah (Mudharabah terbatas). Pengertiannya pemilik modal (investor) menyerahkan modal kepada pengelola dan menentukan jenis usaha atau tempat atau waktu atau orang yang akan bertransaksi dengan Mudharib. Jenis kedua ini diperselisihkan para ulama keabsahan syaratnya, namun yang rajih bahwa pembatasan tersebut berguna dan tidak sama sekali menyelisihi dalil syar’i, itu hanya sekedar ijtihad dan dilakukan dengan kesepakatan dan keridhoan kedua belah pihak sehingga wajib ditunaikan.
Perbedaan antara keduanya terletak pada pembatasan penggunaan modal sesuai permintaan investor.

Mudharib Melaksanakan Mudharabah Ke-Dua
Pengertian mudharib melaksanakan mudharabah kedua adalah bahwa ia selain melakukan akad mudharabah dengan shaibul maal maka ketika ia membuat perjanjian dengan pihak lain dimana kedudukan ia sebagai shahibul maal maka ia dikatakan melaksanakan mudharabah kedua, dalam dunia perbankan disebut juga sebagai pembiayaan. Praktek seperti ini banyak dijumpai dalam bisnis perbankan syariah dimana pihak bank (mudharib) dalam perniagaannya melakukan akad mudharabah kembali kepada orang lain dengan modal yang ia telah terima dari nasabah bank (shahibul maal). 

Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat tentang kebolehan mudharib melaksanakan mudharabah kedua. Menurut madzhab Hanafi hal ini tidak diperbolehkan kecuali jika modal itu diserahkan kepada pemilik modal. Golongan ini berpendapat bahwa mudharib pertama tidak bertanggung jawab terhadap modal yang diserahkannya kepada mudharib kedua kecuali jika yang terakhir ini telah benar-benar melaksanakan perniagaan dan mendapatkan keuntungan atau kerugian.

Kalau memang dari semua keterangan diatas bahwa akad mudharabah itu penting bagi kemashlahatan umat dan memudahkan dalam bekerjasama, lalu yang menjadi pernyataan adalah kenapa pada tataran implementasi hal ini sulit sekali diwujudkan?

       Beberapa hal-hal yang menyebabkan sulitnya akad mudharabah di terapkan, antara lain :
  1. Pada kenyataannya praktek mudharabah ini sulit sekali dilakukan atau dipraktekan karena masih tingginya resiko pembiayaan pada  jenis akad ini.
  2. Bagaimana perilaku atau respon masyarakat(nasabah) terhadap sistem Mudharabah yang digunakan pada koperasi syariah.
  3. Kesiapan SDI lembaga keuangan syariah dalam memahami dunia usaha dan terjun langsung di sektor riel.
  4. Resiko pada pembiayaan sistem mudharabah lebih tinggi dibandingkan dengan produk pembiayaan lainnya (Murabahah).
Sedangkan Komarudin dalam tesisnya  menjelaskan bahwa pelaksanaan prinsip syariah pada pembiayaan mudharabah belum dilaksanakan secara menyeluruh.  Hal ini bisa dilihat dari :
Pembiayaan yang paling banyak terjadi adalah murabahah

Penentuan nisbah bagi hasil yang selalu menyetarakan  dengan bunga konvensional, menetapkan jaminan sebagai syarat utama dan bank tidak berani memberikan pembiayaan mudharabah secara murni.

Kalau dilihat dari segi akad ditemukan juga bahwa:
  1. Kedudukan Bank lebih dominan dari pada mudharib.
  2. Apabila terjadi force majeur nasabah harus membayar pembiayaannya.
  3. Bank menetapkan agunan sebagai syarat utama dalam memberikan pembiayaannya.
  4. Bank berwenang secara sepihak menentukan harga jual dari barang agunan dalam hal penjualan barang  agunan karena pembiayaan mudharib macet.
  5. Kekayaan mudharib dapat disita.
  6. Tidak adanya klausul yang menyatakan bank mengalami kerugian ketika terjadi force majeur pada mudharib.  
Pengamat ekonomi syariah Viethzal rivai menyatakan bahwa akad yang cukup banyak mengalami penyimpangan adalah akad mudharabah. Untuk itu pada penerapannya perlu sekali dilakukan secara hati-hati

Kesimpulan  
Kendala-kendala yang dihadapi dalam melaksanakan prinsip-prinsip syariah dalam  pembiayaan mudharabah diantaranya adalah pertama, perundang-undangan belum mengatur secara keseluruhan tentang prinsip-prinsip bank syariah. Kedua, sikap pengelola bank syariah yang selalu menyetarakan nisbah bagi hasil dengan bunga di bank konvensional, sikap nasabah yang selalu ingin biaya tetap serta terukur dan minimnya SDM yang menguasai perbankan syariah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar