Pengantar. Dari hasil survei (kompas) publik meyakini bahwa kasus Century tidak berdampak sistemik. Dari hasil survei juga diketahui sebagian besar publik meyakini bahwa kebangkrutan bank century terjadi karena kesalahan dan tindak kriminal yang dilakukan oleh pengelola bank.
Walaupun secara politis drama kasus century telah dianggap ‘selesai’ setelah dilakukan voting di parlemen dan kuatnya loby-loby di tingkat elit parpol, namun dikalangan akademisi dan masyarakat perdebatan mengenai status dari dampak kasus century sebenarnya belumlah tuntas. Masih banyak pertanyaan yang belum terjawab dan terungkap. Sampai sekarang masih saja ada yang beranggapan bahwa kasus century adalah berdampak sistemik terutama dari pemerintah dan kalangan yang dekat dengan pemerintah, demikian juga dengan yang berpendapat sebaliknya sangat meyakini bahwa kasus century tidak berdampak sistemik. Untuk itu menarik untuk dikaji lebih dalam agar kita bisa mendapatkan kebenaran yang lebih baik.
Pengertian Dampak Sistemik
Sistemik diambil dari kata sistem. Kerusakan sistemik berarti kerusakan menyeluruh pada sistem yang ada. Mengacu pada definisi Perppu JPSK, yang dimaksud berdampak sistemik adalah:
“suatu kondisi sulit yang ditimbulkan oleh suatu Bank, Lembaga Keuangan Bukan Bank, dan/atau gejolak pasar keuangan yang apabila tidak diatasi dapat menyebabkan kegagalan sejumlah Bank dan/atau Lembaga Keuangan Bukan Bank lain sehingga menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap sistem keuangan dan perekonomian nasional.”
Dampak sistemik bisa diakibatkan banyak hal, internal maupun eksternal. Hal internal adalah masalah di dalam lembaga bank itu sendiri. Sedangkan eksternal bisa berupa bencana alam, krisis keuangan global maupun serangan teroris. Ini menyebabkan dampak sistemik sulit ditentukan batasannya. Suatu lembaga keuangan dapat dinyatakan berdampak sistemik pada situasi tertentu, namun tidak berdampak sistemik pada situasi berbeda. Perlu professional judgement untuk memutuskan hal tersebut.
Namun, dalam melakukan penilaian dampak sistemik, Bank Indonesia mencoba mengadaptasi sistem penilaian berdasarkan framework MoU Uni Eropa. Framework tersebut melakukan penilaian dampak sistemik dari aspek sistem keuangan, pasar keuangan, sistem pembayaran dan sektor riil.
Selain aspek di atas, Bank Indonesia juga menambahkan satu aspek lagi yaitu aspek psikologi pasar. Penambahan aspek psikologi pasar ini ditambahkan karena merujuk pengalaman Indonesia pada krisis 1997-1998 lalu sehingga perlu dimasukkan untuk mencegah krisis serupa terulang. Pada masa itu, penutupan 16 bank yang hanya menguasai 2,3% dari total aset perbankan berdampak psikologis negatif bagi pasar keuangan. Ini berujung pada penarikan besar-besaran dana nasabah di bank-bank lain sehingga mengakibatkan krisis perbankan dan merambah pada krisis keuangan dan sektor lainnya.
Sebenarnya apa yang terjadi pada kasus century , kalangan yang beranggapan bahwa kasus century berdampak sistemik meyakini bahwa ini semua berawal dari kiris global yang dimulai di Amerika. Berawal dari permasalahan kegagalan pembayaran kredit perumahan (subprime mortgage default) di Amerika Serikat (AS), krisis kemudian menggelembung merusak sistem perbankan bukan hanya di AS namun meluas hingga ke Eropa lalu ke Asia. Secara beruntun menyebabkan effect domino terhadap solvabilitas dan likuiditas lembaga-lembaga keuangan di negara negara tersebut, yang antara lain menyebabkan kebangkrutan ratusan bank, perusahaan sekuritas, reksadana, dana pensiun dan asuransi. Krisis kemudian merambat ke belahan Asia terutama negara-negara seperti Jepang, Korea, China, Singapura, Hongkong, Malaysia, Thailand termasuk Indonesia yang kebetulan sudah lama memiliki surat-surat beharga perusahaan-perusahaan tersebut.
Menurut kalangan yang pro sistemik atau pemerintah berpendapat bahwa sebagai salah satu pelaku pasar dunia, Indonesia tentu juga tak luput dari hantaman krisis. Indikasi krisis di Indonesia ditunjukkan oleh berbagai indikator yaitu antara lain:
1. Cadangan Devisa mengalami penurunan 13% dari USD 59.45 milyar per Juni 2008 menjadi 51.64 milyar per Desember 2008 yang mengindikasikan terjadi capital flight.
2. Rupiah terdepresiasi 30.9% dari Rp 9.840 per Jan 2008 menjadi Rp 12.100 per Nopember 2008 dengan volatilitas yang tinggi.
3. Banking Pressure Index (dikeluarkan oleh Danareksa Research Institute) dan Financial Stability Index (dikeluarkan oleh BI) yang sudah memasuki dalam ambang batas kritis..
4. Terdapat potensi terjadi capital flight yang lebih besar lagi dari para deposan bank karena tidak adanya sistem penjaminan penuh (full guarantee) di Indonesia seperti yang sudah diterapkan di Australia, Singapura, Malaysia, Thailand, Hong Kong, Taiwan dan Korea, disamping Uni Eropa.
Gambaran dan fakta-fakta tersebut di atas, sejak pertengahan tahun 2008, ketegangan dan kecemasan terjadi di mana-mana, investor besar di pasar modal seperti Dana Pensiun, Asuransi, dan Reksa Dana termasuk masyarakat biasa. Psikologis pasar saat itu menusuk dan menekan karena nilai investasi terkuras tajam hampir rata-rata 40 %. Lebih dasyat lagi, pinjaman antar Bank telah berhenti sama sekali dan dapat dikatakan likuiditas di pasar perbankan tidak ada sama sekali. Keadaan ini mendorong Pemerintah melakukan penyesuaian kebijakan secara cepat dan tepat waktu dengan melakukan perubahan-perubahan penilaian aktiva.
Kalangan yang berpendapat berdampak sistemik juga sangat meyakini bahwa saat terjadinya kejatuhan ekonomi di pertengahan 2008, semua pemerintahan dan bank sentral di Amerika, Eropa maupun Asia melakukan berbagai upaya penyelamatan perekonomian negara mereka termasuk di Indonesia. Upaya itu bertumpu pada empat tindakan utama yaitu pemberian likuiditas, tindakan bail-out (penyelamatan) berbagai lembaga keuangan, menurunkan tingkat suku bunga dan memberi stimulus fiskal.
Namun ancaman risiko sistemik yang menjadi alasan pemerintah menyuntikkan dana sebesar Rp 6,7 triliun ke pada Bank Century dibantah mantan pejabat Bank Indonesia. Mantan Deputi senior Gubernur BI Anwar Nasution dan mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah. Hal ini diperkuat dengan argumen bahwa adanya kebiasaan di BI bahwa tiap dua bulan sekali BI mengadakan pertemuan dengan bank-bank penting yang berdampak sistemik. Dalam pertemuan tersebut, Bank Century tidak pernah ikut dan dilibatkan, karena dinilai jauh dari kategori sistemik. Pertemuan dengan bank-bank sistemik atau Systemically Important Bank, jumlahnya ada 15 bank dan menguasai sekitar 85 persen institusi perbankan, itu tidak termasuk Bank Century. 15 bank yang berdampak sistemik itu adalah Bank Mandiri, BRI, BNI, BTN, BCA, BII, Danamon, Panin, Bank Mega, Bank Niaga, Bukopin, Bank Lippo, dan Bank Niaga yang kini bergabung, dan Bank Permata.
Kalau kita mau melihat dengan tajam bahwa sebenarnya Bank Century masuk ke dalam kategori bank kecil yang tidak memiliki peran penting di pasar uang antar bank (PUAB) serta pasar devisa. Maka ada kesalahan indikator sistemik, padahal ini tidak sistemik, diukur dari PUAB dan pasar devisa. Bank Century ini peranannya sedikit di kedua pasar tersebut. Bahkan dana bailout Rp 6,7 triliun cuma terpakai Rp 300 miliar saja untuk membayar PUAB.
Oleh karena itu, seharusnya Bank Century tidak perlu diselamatkan karena banyaknya pelanggaran yang dilakukan. Ini merupakan cermin melemahnya pengawasan BI dan tidak ada kaitannya kolapsnya bank dengan krisis global.
Kalau kita mau cermati lagi, nasabah Bank Century hanya beberapa ribu orang saja dan bukan masyarakat kelas bawah. Dari seluruh nasabah diantaranya ada 40 nasabah kelas kakap yang menguasai sekitar 40 persen aset bank. Ini menunjukkan kegagalan operasional Bank Century hanya berdampak pada sejumlah nasabah saja.
Argumentasi – argumentasi ini mementahkan penegasan pemerintah (Menkeu Sri Mulyani) yang berangapan bahwa keputusan pemerintah dalam membantu bank century adalah karena bank tersebut gagal dan berdampak sistemik bagi perbankan secara keseluruhan.
Penulis juga tidak sependapat dengan keyakinan pemerintah atau BI (Boediono) bahwa krisis 2008 sama dengan 1998 . Kami meyakini bahwa penyebab krisis 2008 berbeda dengan 1998. Menurut penulis, Century memang bank gagal, tapi tidak berdampak sistemik. Sebab krisis global pada saat itu (2008) tidak bisa dibandingkan dengan krisis 1998. Misalnya pada 2008 rupiah hanya turun 20%, sedangkan tahun 1998 turun 600%. Disamping itu juga argumentasi lainnya bahwa krisis 1998 masuk ke Indonesia melalui money market sedangkan krisis 2008 masuk melalui capital market. Hal inilah yang menyebabkan krisis tidak akan berdampak luas kepada masyarakat, karena pada kenyataannya sedikit sekali masyarakat kita yang terjun atau masuk dalam bidang capital market.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar