Selasa, 21 September 2010

Sulitnya Penerapan Akad Mudharabah Pada Sistem Lembaga Keuangan Syariah

Pengantar.    Sudah  menjadi rahasia umum dikalangan masyarakat Islam khususnya para pemerhati ekonomi Islam atau orang-orang yang mempunyai kepentingan dengan bank Islam bahwa praktek lembaga keuangan syariah (LKS) khususnya  perbankan syariah lebih banyak menggunakan akad Murabahah ( yaitu hampir lebih 70 %) dibandingkan dengan menggunakan akad Mudharabah.     Sedangkan pada Bank Mega Syariah  hampir 80% masih menggunakan akad murabahah  dari total pembiayaan Rp 2,2 Trilyun. Pada prakteknya sedikit sekali lembaga keuangan syariah baik pada  perbankan maupun lembaga keuangan Islam lainnya yang  menggunakan sistem Mudharabah (bagi hasil). Dari data tercatat bahwa secara nasional untuk pembiayaan hanya sekitar 7 % yang menggunakan sistem Mudharabah (PLS) dan 67 % menggunakan sistem Murabahah. (Munawar et al,1998).  Hal ini karena berkaitan dengan resiko yang cukup tinggi.

Padahal Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang berinteraksi sosial dan saling membutuhkan satu sama lainnya. Ada yang memiliki kelebihan harta namun tidak memiliki waktu dan keahlian dalam mengelola dan mengembangkannya, di sisi lain ada yang memiliki skill kemampuan namun tidak memiliki modal. Dengan berkumpulnya dua jenis orang ini diharapkan dapat saling melengkapi dan mempermudah pengembangan harta dan kemampuan tersebut. Untuk itulah Islam memperbolehkan syarikat dalam usaha diantaranya mudharabah

Dalam dunia perbankan prinsip bagi hasil (profit sharing)  merupakan karakteristik umum dan landasan dasar bagi operasional bank Islam secara keseluruhan.  Secara syariah, prinsipnya berdasarkan kaidah al-mudharabah.  Berdasarkan prinsip ini, bank Islam akan berfungsi sebagai mitra, baik dengan penabung maupun dengan pengusaha yang meminjam dana.

Definisi Mudharabah
Mudharabah berasal dari kata dharb yang artinya memukul atau berjalan. Istilah ini biasa dipakai oleh penduduk Irak, sementara penduduk Hijaz lebih suka menggunakan istilah qirodh atau muqaradhah. Dalam kaitannya dengan muamalah, kata dharb disini lebih tepat diartikan pada proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Sedangkan secara teknis, mudharabah didefinisikan sebagai akad kerja sama antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan 100% modal sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola (mudharib). Apabila dalam usahanya diperoleh keuntungan (profit) maka keuntungan tadi kemudian dibagi antara shahibul maal dan mudharib dengan prosentase nisbah atau rasio yang telah disepakati sejak awal perjanjian/kontrak. Sedangkan apabila usaha tersebut merugi maka kerugian tersebut akan ditanggung sepenuhnya oleh pihak shahibul maal sepanjang hal itu disebabkan oleh risiko bisnis (bussiness risk) dan bukan karena kelalaian mudharib (character risk).

Akad mudharabah ini berbeda dengan sistem bunga (interest) mengingat sifat pengembalian (return) yang tidak pasti baik dari segi jumlah maupun segi waktu sehingga akad ini dikategorikan sebagai Natural Uncertainty Contract (NUC). Dalam bahasa lain, produk ini disebut juga dengan Trust Financing atau Trust Investment karena kontrak ini hanya diberikan kepada pengusaha yang benar-benar credible dan sudah teruji amanahnya.

Landasan Syariah
1. Al-QurĂ¢'an
(a). dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT..(QS. Al Muzammil ayat 20). (b). Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah SWT(QS. Al Jumuah ayat 10). (c). Tidak ada dosa (halangan) bagi kamu untuk mencari karunia Tuhanmu(QS. Al Baqarah ayat 198).
2. Al-Hadits
Dari Shalih bin Suhaib ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda, Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan : jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual (HR. Ibnu Majah).

Dalam istilah para ulama  Mudharabah memiliki pengertian[3]: Pihak pemodal (Investor) menyerahkan sejumlah modal kepada pihak pengelola untuk diperdagangkan. Dan berhak mendapat bagian tertentu dari keuntungan.  Dengan kata lain Al Mudharabah adalah akad (transaksi) antara dua pihak dimana salah satu pihak menyerahkan harta kepada yang lain agar diperdagangkan dengan pembagian keuntungan diantara keduanya sesuai dengan kesepakatan.

Para ulama juga sepakat bahwa sistem penanaman modal ini dibolehkan. Dasar hukum dari sistem jual beli ini adalah ijma’ ulama yang membolehkannya. Seperti dinukilkan Ibnu Mundzir, Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah dan lainnya. Islam mensyariatkan akad kerja sama Mudharabah untuk memudahkan orang, karena sebagian mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelolanya dan disana ada juga orang yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola dan mengembangkannya. Maka Syariat membolehkan kerja sama ini agar mereka bisa saling mengambil manfaat diantara mereka. Shohib Al Mal (investor) memanfaatkan keahlian Mudhorib (pengelola) dan Mudhorib (pengelola) memanfaatkan harta dan dengan demikian terwujudlah kerja sama harta dan amal. Allah Ta’ala tidak mensyariatkan satu akad kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan.

Para ulama membagi Al Mudharabah menjadi dua jenis:
  1. Al Mudharabah Al Muthlaqah (Mudharabah bebas). Pengertiannya adalah sistem mudharabah dimana pemilik modal (investor/Shohib Al Mal) menyerahkan modal kepada pengelola tanpa pembatasan jenis usaha, tempat dan waktu dan dengan siapa pengelola bertransaksi. Jenis ini memberikan kebebasan kepada Mudhorib (pengelola modal) melakukan apa saja yang dipandang dapat mewujudkan kemaslahatan.
  2. Al Mudharabah Al Muqayyadah (Mudharabah terbatas). Pengertiannya pemilik modal (investor) menyerahkan modal kepada pengelola dan menentukan jenis usaha atau tempat atau waktu atau orang yang akan bertransaksi dengan Mudharib. Jenis kedua ini diperselisihkan para ulama keabsahan syaratnya, namun yang rajih bahwa pembatasan tersebut berguna dan tidak sama sekali menyelisihi dalil syar’i, itu hanya sekedar ijtihad dan dilakukan dengan kesepakatan dan keridhoan kedua belah pihak sehingga wajib ditunaikan.
Perbedaan antara keduanya terletak pada pembatasan penggunaan modal sesuai permintaan investor.

Mudharib Melaksanakan Mudharabah Ke-Dua
Pengertian mudharib melaksanakan mudharabah kedua adalah bahwa ia selain melakukan akad mudharabah dengan shaibul maal maka ketika ia membuat perjanjian dengan pihak lain dimana kedudukan ia sebagai shahibul maal maka ia dikatakan melaksanakan mudharabah kedua, dalam dunia perbankan disebut juga sebagai pembiayaan. Praktek seperti ini banyak dijumpai dalam bisnis perbankan syariah dimana pihak bank (mudharib) dalam perniagaannya melakukan akad mudharabah kembali kepada orang lain dengan modal yang ia telah terima dari nasabah bank (shahibul maal). 

Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat tentang kebolehan mudharib melaksanakan mudharabah kedua. Menurut madzhab Hanafi hal ini tidak diperbolehkan kecuali jika modal itu diserahkan kepada pemilik modal. Golongan ini berpendapat bahwa mudharib pertama tidak bertanggung jawab terhadap modal yang diserahkannya kepada mudharib kedua kecuali jika yang terakhir ini telah benar-benar melaksanakan perniagaan dan mendapatkan keuntungan atau kerugian.

Kalau memang dari semua keterangan diatas bahwa akad mudharabah itu penting bagi kemashlahatan umat dan memudahkan dalam bekerjasama, lalu yang menjadi pernyataan adalah kenapa pada tataran implementasi hal ini sulit sekali diwujudkan?

       Beberapa hal-hal yang menyebabkan sulitnya akad mudharabah di terapkan, antara lain :
  1. Pada kenyataannya praktek mudharabah ini sulit sekali dilakukan atau dipraktekan karena masih tingginya resiko pembiayaan pada  jenis akad ini.
  2. Bagaimana perilaku atau respon masyarakat(nasabah) terhadap sistem Mudharabah yang digunakan pada koperasi syariah.
  3. Kesiapan SDI lembaga keuangan syariah dalam memahami dunia usaha dan terjun langsung di sektor riel.
  4. Resiko pada pembiayaan sistem mudharabah lebih tinggi dibandingkan dengan produk pembiayaan lainnya (Murabahah).
Sedangkan Komarudin dalam tesisnya  menjelaskan bahwa pelaksanaan prinsip syariah pada pembiayaan mudharabah belum dilaksanakan secara menyeluruh.  Hal ini bisa dilihat dari :
Pembiayaan yang paling banyak terjadi adalah murabahah

Penentuan nisbah bagi hasil yang selalu menyetarakan  dengan bunga konvensional, menetapkan jaminan sebagai syarat utama dan bank tidak berani memberikan pembiayaan mudharabah secara murni.

Kalau dilihat dari segi akad ditemukan juga bahwa:
  1. Kedudukan Bank lebih dominan dari pada mudharib.
  2. Apabila terjadi force majeur nasabah harus membayar pembiayaannya.
  3. Bank menetapkan agunan sebagai syarat utama dalam memberikan pembiayaannya.
  4. Bank berwenang secara sepihak menentukan harga jual dari barang agunan dalam hal penjualan barang  agunan karena pembiayaan mudharib macet.
  5. Kekayaan mudharib dapat disita.
  6. Tidak adanya klausul yang menyatakan bank mengalami kerugian ketika terjadi force majeur pada mudharib.  
Pengamat ekonomi syariah Viethzal rivai menyatakan bahwa akad yang cukup banyak mengalami penyimpangan adalah akad mudharabah. Untuk itu pada penerapannya perlu sekali dilakukan secara hati-hati

Kesimpulan  
Kendala-kendala yang dihadapi dalam melaksanakan prinsip-prinsip syariah dalam  pembiayaan mudharabah diantaranya adalah pertama, perundang-undangan belum mengatur secara keseluruhan tentang prinsip-prinsip bank syariah. Kedua, sikap pengelola bank syariah yang selalu menyetarakan nisbah bagi hasil dengan bunga di bank konvensional, sikap nasabah yang selalu ingin biaya tetap serta terukur dan minimnya SDM yang menguasai perbankan syariah.

Senin, 20 September 2010

Menerapkan Manajemen Resiko Pada Lembaga Keuangan Mikro Koperasi Syariah (BMT)

Pendahuluan. Di Indonesia, pelaksanaan sistem ekonomi Islam yang sudah dimulai sejak awal tahun 90 an semakin semarak dengan bertambahnya jumlah lembaga keuangan islam baik yang bank maupun non bank. Salah satu lembaga keuangan islam yang non bank adalah Baitul Mal wat Tamwil (BMT) yang berorientasi pada masyarakat islam bagian bawah yang sekarang dikenal sebagai koperasi syariah. Kelahiran BMT merupakan solusi bagi kelompok ekonomi masyarakat bawah yang membutuhkan dana bagi pengembangan usaha kecil. BMT merupakan lembaga ekonomi rakyat kecil yang berupaya mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi pengusaha kecil dengan berdasarkan prinsip syariah dan koperasi.

Dalam Islam, koperasi tergolong sebagai syirkah/syarikah. Lembaga ini adalah wadah kemitraan, kerjasama, kekeluargaan, dan kebersamaan usaha yang sehat, baik, dan halal. Dan, lembaga yang seperti itu sangat dipuji Islam seperti dalam firman Allah, “Dan bekerjasamalah dalam kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah saling bekerjasama dalam dosa dan permusuhan.” (Al-Maidah: 2). Juga surat An-Nisa’: 12 dan Shaad: 24. Bahkan, Nabi saw. tidak sekadar membolehkan, juga memberi motivasi dengan sabdanya dalam hadits Qudsi, “Aku (Allah) merupakan pihak ketiga yang menyertai (untuk menolong dan memberkati) kemitraan antara dua pihak, selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak lainnya. Jika salah satu pihak telah melakukan pengkhianatan terhadap mitranya, maka Aku keluar dari kemitraan tersebut.” (Abu Daud dan Hakim). Beliau juga bersabda, “Allah akan mengabulkan doa bagi dua orang yang bermitra selama di antara mereka tidak saling mengkhianati.” (Al-Bukhari)

Azas usaha Koperasi Syariah berdasarkan konsep gotong royong, dan tidak dimonopoli oleh salah seorang pemilik modal. Begitu pula dalam hal keuntungan yang diperoleh maupun kerugian yang diderita harus dibagi secara sama dan proporsional.

Kini, koperasi sebagai organisasi ekonomi berbasis orang atau keanggotaan (membership based association), menjadi substantive power perekonomian negara-negara maju. Misalnya Denmark, AS, Singapura, Korea, Jepang, Taiwan, dan Swedia. Meskipun, awalnya hanya countervailing power (kekuatan pengimbang) kapitalisme swasta di bidang ekonomi yang didominasi oleh perusahaan berdasarkan modal persahaman (equity based association), yang sering jadi sapi perah pemilik modal (share holders) dengan sistem dan mekanisme targeting yang memeras pengelola.

Spirit membership based association teraktualisasikan dalam ‘tujuh kebaikan’. Buku-buku modern menyebutnya sebagai social capital (modal sosial). Di Indonesia semangat ekonomi kerakyatan berbasis modal sosial mulai menggejala di era Hindia Belanda di abad ke-19, tepatnya sejak diberlakukan UU Agraria 1870 yang menghapuskan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel). UU itu mendorong munculnya kepemilikan lokal (local ownership) dan inisiatif rakyat setempat yang mendapatkan porsi ekonomi yang signifikan.

Bung Hatta dalam buku Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun mengkategorikan social capital ke dalam 7 nilai sebagai spirit koperasi. Pertama, kebenaran untuk menggerakkan kepercayaan (trust). Kedua, keadilan dalam usaha bersama. Ketiga, kebaikan dan kejujuran mencapai perbaikan. Keempat, tanggung jawab dalam individualitas dan solidaritas. Kelima, paham yang sehat, cerdas, dan tegas. Keenam, kemauan menolong diri sendiri serta menggerakkan keswasembadaan dan otoaktiva. Ketujuh, kesetiaan dalam kekeluargaan.

Formula nilai yang dikemukakan Hatta ini parallel dengan apa yang diungkapkan oleh Kagawa, bapak koperasi Jepang dalam buku Brotherhood Economics, bahwa koperasi merupakan kemitraan ekonomi yang memacu kesejahteraan sosial bersama dan penghindaran dari isapan kekuatan-kekeuatan yang meraih kedudukan istimewa dalam ekonomi.

Defenisi Manajemen Resiko
Manajemen Resiko sebagai rangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan resiko yang timbul dari kegiatan usaha.


Bagaimana memperlakukan resiko
  1. Dihindari, apabila resiko tersebut masih dalam pertimbangan untuk diambil, misalnya karena tidak masuk kategori Resiko yang diinginkan Bank atau karena kemungkinan jauh lebih besar dibandingkan keuntungan yang diharapkan
  2. Diterima dan dipertahankan, apabila resiko berada pada tingkat yang paling ekonomis
  3. Dinaikkan, diturunkan atau dihilangkan, apabila resiko yang ada dapat dikendalikan dengan tata kelola yang baik, atau melalui pengoperasian exit strategy
  4. Dikurangi, misalnya dengan mendiversifikasi portofolio yang ada, atau membagi (share) resiko dengan pihak lain
  5. Dipagari (hedge), apabila resiko dapat dilindungi secara atificial, misalnya resiko dinetralisir sampai batas tertentu dengan instrumen derivatif.

Fungsi Manajemen Resiko
  1. Menetapkan arah dan risk appetite dengan mengkaji ulang secara berkala dan menyetujui risk exposure limits yang mengikuti perubahan strategi perusahaan
  2. Menetapkan limit umumnya mencakup pemberian kredit, penempatan non kredit, asset liability management, trading dan kegiatan lain seperti derivatif dan lain-lain
  3. Menetapkan kecukupan prosedur atau prosedur pemeriksaan (audit) untuk memastikan adanya integrasi pengukuran resiko, kontrol sistem pelaporan, dan kepatuhan terhadap kebijakan dan prosedur yang berlaku
  4. Menetapkan metodologi untuk mengelola resiko dengan menggunakan sistem pencatatan dan pelaporan yang terintegrasi dengan sistem komputerisasi sehingga dapat diukur dan dipantau sumber resiko utama terhadap organisasi Bank.
Efektifnya Koperasi Jasa Keuangan Syariah atau yang lebih dikenal dengan Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) dalam menyalurkan pembiayaan kepada usaha mikro ditunjukkan dengan terus meningkatnya jumlah dana yang bisa disalurkan, menjadikan lembaga ini perlu dikembangkan lebih pesat lagi. Penghimpunan dana menjadikan faktor penentu dalam mengembangkan jumlah asset maupun jumlah pembiayaan yang disalurkan. Sehingga berapa pun dana yang masuk ke dalam Koperasi syariah seolah tidak pernah cukup, berapa pun dana yang dimiliki oleh salalu habis disalurkan kepada usaha mikro. Sehingga sepertinya tidak ada koperasi syariah yang menolak jika diberikan dana bahkan jika diberikan dalam jumlah yang besar sekalipun.

Disatu sisi kebutuhan koperasi syariah akan dana yang cukup besar, disisi lain lembaga ini kesulitan menghimpun dana masyarakat karena tidak dilengkapi dengan perangkat yang memadai seperti lembaga penjamin simpanan. Dimana Koperasi syariah sering ‘disudutkan’ oleh lembaga keuangan lainnya karena bukan peserta LPS. Koperasi syariah harus bisa menyakinkan sendiri masyarakat, koperasi syariah juga harus bisa mengelola kepercayaan yang dimiliki. Akan tetapi koperasi syariah merupakan lembaga yang strategis. Karena :
  1. Koperasi syariah membiayai usaha mikro dimana sektor ini merupakan sektor ekonomi yang sangat produktif karena banyak menyerap tenaga kerja dan memiliki kontribusi yang besar terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB)
  2. Koperasi syariah memiliki peluang memiliki prospek keuntungan yang tinggi yang disebabkan usaha mikro yang dilayani memiliki efisiensi tinggi dikarenakan biaya tenaga kerja yang murah. Dengan prospek tersebut koperasi syariah jika dikelola dengan lebih baik akan menguntungkan dan bermanfaat bagi lebih banyak masyarakat usaha mikro.
Manajemen resiko yang baik merupakan langkah yang baik untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap koperasi syariah. Masyarakat perlu diyakinkan bahwa dana yang mereka percayakan ke koperasi syariah adalah aman dan bisa diambil saat dibutuhkan. Dalam manajemen resiko kita mengenal setidaknya 3 resiko yaitu resiko kredit, resiko pasar dan resiko operasional. Dalam penerapan manajemen resiko pembiayaan perlu dikembangkan lebih lanjut untuk memanage resiko lebih baik dengan perhitungan yang tepat.

Sebagaian besar pembiayaan koperasi syariah berasal dari ketidakmampuan nasabah untuk memenuhi kewajibannya, maka cara termudah untuk mengelola resiko pembiayaan dengan sikap kehati-hatian, Antipasi ini dapat dilakukan dengan memprediksi besarnya potensi kerugian yang akan dihadapi sebagai langkah awal, apalagi jaminan hanya berfungsi sebagai pencegah moral hazard. Koperasi syariah harus melakukan identifikasi mendalam tentang kemampuan dan karakter calon debitur sebelum memberikan pembiayaan.

Perlu komite Pembiayaan dan auditor internal sehingga resiko pembiayaan bisa diperhitungkan dengan lebih baik, serta meminumkan kesalahan prosedur dalam penyaluran pembiayaan.
Sangat perlu dilakukan pendampingan, khususnya pelatihan teknis menjalankan usaha kepada calon anggota yang akan mendapatkan pinjaman. Dengan begitu jumlah pinjaman yang diberikan bisa meningkat, dengan pendampingan koperasi syariah bisa mengenal nasabah lebih baik sehingga koperasi syariah juga bisa memberikan modal untuk usaha yang baru mulai.

Minimnya jaminan seperti Kendaraan bermotor yang dimiliki oleh usaha mikro. Pengelolaan resiko bisa dilakukan dengan mengembangkan jaminan tidak hanya kendaraan bermotor tetapi bisa aset yang ada dirumahnya atau tabungan dengan menganjurkan anggota menabung lebih dahulu.
Untuk pembiayaan yang sudah macet bisa diminimalisir dengan pendampingan dengan memberdayakan penggunaan dana sosial koperasi syariah sampai usaha anggota menjadi sehat dan dialokasi dana penghapusan pembiayaan dari biaya.

Resiko pasar berpengaruh kurang signifikan karena pembiayaan yang diterima berasal dari bank syariah atau pendanaan-pendanaan lain yang tidak terpengaruh oleh naik turunnya tingkat suku bunga. Resiko pasar bisa cukup bermasalah jika usaha nasabah bermasalah dengan kondisi pasar yang kurang menguntungkan sehingga angsuran ke koperasi syariahnya menunggak. Dikarenakan prinsip usaha dengan syariah koperasi syariah tidak mengeksekusi jaminan atas keterlambatan angsuran.

Resiko operasional dengan software aplikasi komputer yang sering bermasalah dan bahkan sering terjadi kesalahan. Sehingga dengan penanganan manajemen resiko yang baik koperasi syariah bisa menghimpun dana masyarakat yang menjadi anggota dan memberikan manfaat yang maksimal antara lain :
1. Menyediakan dana yang murah sehingga Usaha mikro bisa lebih menikmati nilai tambah atau keuntungan usahanya,
2. Menyediakan produk pembiayaan yang sesuai dengan kebutuhan UKM khususnya yang lebih bersifat ekuitas dan bagi hasil.

Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf

Pengantar  
Sejarah merupakan potret manusia dimasa lampau, ia merupakan laboratorium kehidupan yang sesungguhnya.  Tiap generasi ada zamannya, begitupun sebaliknya, setiap zaman ada generasinya. Dimensi masa depan dengan segala persoalannya dari zaman kapanpun selalu saja sampai kepada manusia berikutnya dalam bentuk kebaikan untuk diteladani maupun sesuatu yang buruk sebagai pelajaran untuk tidak dilakukan lagi.
Menampilkan pemikiran ekonomi para cendekiawan muslim terkemuka akan memberikan kontribusi positif bagi umat Islam, setidaknya dalam dua hal pertama, membantu menemukan berbagai sumber pemikiran ekonomi Islam kontemporer dan kedua memberikan kemungkinan kepada kita untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai perjalanan pemikiran Islam selama ini.
Konsep ekonomi para cendekiawan muslim berakar pada hukum Islam yang bersumber dari alquran dan hadis nabi. Ia merupakan hasil interpretasi dari berbagai ajaran Islam yang bersifat abadi dan universal, mengandung sejumlah perintah dan prinsip umum bagi perilaku individu dan masyarakat serta mendorong umatnya untuk menggunakan kekuatan akal pikiran mereka.

Kajian-kajian terhadap perkembangan sejarah ekonomi Islam merupakan ujian-ujian empirik yang diperlukan bagi setiap gagasan ekonomi.  Ini memiliki arti yang sangat penting, terutama dalam kebijakan ekonomi dan keuangan negara secara umum.

Biografi Abu Yusuf.
Nama lengkapnya Ya’qub ibn Ibrahim ibn Sa’ad ibn Husein ibn al-Anshori.  Beliau lahir di Kufah pada tahun 113 H dan wafat pada tahun 182 H. Abu Yusuf berasal dari suku Bujailah, salah satu suku bangsa Arab.  Keluarganya disebut Anshori karena dari pihak ibu masih mempunyai hubungan dengan kaum Anshar.

Sejak kecil ia telah memiliki minat ilmiah yang tinggi.  Beliau giat belajar dan meriwayatkan hadis.  Banyak ahli hadis memujinya dalam hal periwayatan.  Dalam belajar ia menunjukkan kemampuan yang tinggi dalam menghafal sejumlah hadis.

Kemudian ia tertarik untuk mendalami ilmu fiqih.  Ia mulai belajar fiqih pada Muhamad ibn Abdurahman ibn Abi Laila (seorang ulama dan pejabat hakim di Kufah).  Selanjutnya ia belajar pada Imam Abu Hanifah, pendiri Mazhab Hanafi.  Imam Abu Hanifah sangat mengharapkan agar Abu Yusuf kelak dapat melanjutkan dan menyebarluaskan Mazhab Hanafi ke berbagai dunia Islam.  Setelah Iman Abu Hanifah wafat, Abu Yusuf menggantikan kedudukannya sebagai guru pada perguruan Imam Abu Hanifah.

Berkat bimbingan para gurunya serta ditunjang oleh ketekunan dan kecerdasannya, abu Yusuf tumbuh sebagai seorang alim yang sangat dihormati oleh berbagai kalangan baik ulama, pengusaha maupun masyarakat umum.  Tidak jarang berbagai pendapatnya dijadikan acuan dalam kehidupan bermasyarakat.  Bahkan tidak sedikit orang yang ingin belajar kepadanya.  Diantara tokoh besar yang menjadi muridnya adalah Muhamad bin Al-hasan Al-Syaibani, Ahmad bin Hanbal, Yazid bin Harun Al-Wasithi, Al-Hasan bin Ziyad Al-Lu’lui dan Yahya bin Adam Al-Qarasy.

Pada tahun 166 H Abu Yusuf meninggalkan Kufah dan pergi ke Baghdad.  Di Baghdad ia menemui khalifah Abbasiyah, Al-Mahdi yang langsung mengangkatnya sebagai hakim di Baghdad Timur.  Pada masa khalifah Harun ar-Rasyid, organisasi kehakiman mengalami perubahan.  Pada masa itu jabatan Abu Yusuf naik menjadi ketua para hakim pertama Daulah Abbasiyah. Jabatan ini belum pernah ada sejak Bani Umayyah.
     
Dengan jabatan dan kewenangan itu, ia memiliki kesempatan yang lebih luas untuk memasyarakatkan hukum-hukum mazhab Hanafi dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikannya suatu sistem hukum yang praktis.  Karena pengangkatan hakim di seluruh Daulah Abbasiyah menjadi wewenangnya, maka terbuka kesempatan untuk mengangkat para murid dan pengikut Mazhab Hanafi menjadi hakim di daerah-daerah. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan Mazhab Hanafi berkembang pesat dan tersebar luas di berbagai daerah Islam.
     
Ketika Abu Yusuf  memangku  jabatan sebagai Qadi al Qudah, beliau diminta oleh ar Rasyid untuk menulis buku umum yang akan dijadikan sebagai pedoman dalam administrasi keuangan.  Buku itu kemudian dikenal dengan nama kitab al-Kharaj.  Kitab tersebut dijadikan pedoman penegakan hukum pada masa itu, untuk menghindari kezaliman terhadap rakyat yang disebabkan oleh perbedaan kedudukan atau agama.  Dia telah meletakkan teori ekonomi yang sesuai dengan syariat Islam.  Kitabnya mempunyai peran penting dalam menjadikan ar Rasyid sebagai sosok yang sangat disiplin dalam menggunakan harta negara.
Beberapa karya Abu Yusuf diantaranya adalah:
  1. Kitab al-Asar.  Didalam kitab ini dimuat hadis yang diriwayatkan dari ayah dan gurunya. Ia mengemukakan pendapat gurunya, Imam Abu hanifah, kemudian pendapatnya sendiri dan menjelaskan sebab terjadinya perbedaan pendapat mereka.
  2. Kitab Ikhtilaf Abi Hanifah wa ibn Abi Laila.  Didalamnya dikemukakan pendapat Imam Abu Hanifah dan ibn Abi Laila serta perbedaan pendapat mereka.
  3. Kitab ar-Radd ’ala Siyar al-Auza’i.  Kitab ini memuat perbedaan pendapatnya dengan Abdurahman al-Auzai tentang perang dan jihad.
  4. Kitab al-Kharaj.  Kitab ini merupakan kitab terpopuler dari karya-karyanya.  Didalam kitab ini , ia menuangkan pemikiran fiqihnya dalam berbagai aspek, seperti keuangan negara, pajak tanah, pemerintahan dan musyawarah.

Pemikiran Abu Yusuf
Abu Yusuf merupakan ahli fiqih pertama yang mencurahkan perhatiannya pada permasalahan ekonomi.
Tema yang kerap menjadi sorotan dalam kitabnya terletak pada tanggung jawab ekonomi penguasa terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat, pentingnya keadilan, pemerataan dalam pajak serta kewajiban penguasa untuk menghargai uang publik sebagai amanah yang harus digunakan sebaik-baiknya.

Sebuah studi perbandingan menunjukkan bahwa beberapa abad sebelum keuangan publik dipelajari secara sistematik di Barat, Abu Yusuf telah berbicara tentang kemampuan untuk membayar pajak dan kenyamanan dalam membayar pajak.



Kekuatan utama pemikiran Abu Yusuf adalah dalam masalah keuangan publik.  Dengan daya observasi dan analisisnya yang tinggi,  Abbu Yusuf menguraikan masalah keuangan dan menunjukkan beberapa kebijakan yang harus diadopsi bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.

Keuangan publik menurut Abu Yusuf
Abu Yusuf memiliki sumbangan yang cukup besar bagi kemajuan ekonomi pada masa Harun ar-Rasyid, karena beliau telah meletakkan dasar-dasar kebijakan fiskal yang berbasis kepada keadilan dan maslahah.
Secara umum penerimaan negara dalam daulah Islamiyah yang ditulis oleh beliau dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori utama, yaitu:
1. Ganimah
     Adalah segala sesuatu yang dikuasai oleh kaum muslim dari harta  
     orang kafir melalui peperangan.
2. Sadaqah
    Sebagai salah satu instrumen keuangan negara, zakat tetap menjadi    
    salah satu sumber penerimaan negara pada saat itu.
3. Fay’
     Adalah segala sesuatu yang dikuasai kaum muslim dari orang kafir tanpa peperangan, termasuk harta yang mengikutinya yaitu kharaj tanah tersebut, jizyah perorangan dan Usyur dari perdagangan.
Semua harta Fay’ dan harta-harta yang mengikutinya berupa kharaj, jizyah dan Usyur merupakan harta yang boleh dimanfaatkan oleh kaum muslim dan disimpan dalam Bait al-Mal, semuanya termasuk kategori pajak dan merupakan sumber pendapatan tetap bagi negara.  Harta tersebut dapat dibelanjakan untuk memelihara dan mewujudkan kemaslahatan mereka.


Penerimaan-penerimaan tersebut dapat digunakan untuk membiayai aktivitas pemerintahan.  Akan tetapi, Abu Yusuf tetap memperingatkan khalifah untuk menganggap sumber daya sebagai amanah dari tuhan yang akan diminta pertanggungjawabannya.  Oleh karena itu, efisiensi dalam penggunaan sumber daya merupakan suatu hal yang penting bagi keberlangsungan pemerintahan.

Kharaj (pajak tanah)
Salah satu pemikiran dari Abu Yusuf yang terkenal adalah mengenai  pajak tanah (Kharaj).  Pengenaan pajak atas tanah adalah jenis pajak yang paling tua dan paling banyak dilakukan.[10]  Dimasa lalu, sumber pendapatan utama negara Islam sejak pemerintahan Khalifah Umar sampai pada keruntuhan peradaban umat Islam adalah Kharaj.
Pemikiran Abu Yusuf tentang Kharaj meliputi :
Klasifikasi status tanah
Setelah Rasulullah SAW wafat, terjadi ekspansi negara Islam dengan tunduknya Byzantium, Mesir, Palestina, Syria, tanah Sasnid di Iraq dan Persia.  Abu Yusuf menekankan bahwa pemerintah mempunyai otoritas dan hak untuk membagikan tanah tersebut kepara para pejuang sebagai Ganimah. Namun, lebih baik jika pemerintah memutuskan mengembalikan tanah kepada pemiliknya dan menarik Kharaj dari mereka sebagai pendapatan tetap bagi negara untuk kesejahteraan umat Islam.  Jadi, status tanah tersebut menjadi tanah  kharaj.
     Dibawah ini dijelaskan perpajakan tanah menurut Abu Yusuf yang didalamnya meliputi status dan jenis pajak yang akan dikenakan:
  1. Wilayah lain (di luar Arabia) dibawah kekuasaan Islam, dibagi 3 bagian.
    1. wilayah yang diperoleh melalui peperangan.
    2. Wilayah yang diperoleh melalui perjanjian damai.
    3. Wilayah yang dimiliki oleh muslim di luar Arabia.(Usyr)
  2. Wilayah yang berada dibawah perjanjian damai, dibagi 2 bagian.
    1. Penduduknya yang kemudian masuk Islam (Usyr)
    2. Mereka yang tidak memeluk Islam (Kharaj)
  3. Tanah taklukkan, dibagi 4.
    1. Ketika penduduknya masuk Islam sebelum kekalahan. (Usyur)
    2. Apabila tanah taklukkan tidak dibagikan dan tetap dimiliki (Kharaj)
    3. Jika khalifah membagikan tanah tsb untuk pejuang (Usyur)
    4. Jika ditahan oleh negara (Usyur dan Kharaj)
Kepemilikan Negara
Kebijakan fiskal Islam tentang tanah-tanah yang sangat luas yang ada di jazirah arab yang tidak dimiliki oleh siapapun atau tidak bertuan akan segera diambil oleh negara. Negara sebagai pemilik tanah-tanah kosong memiliki otoritas untuk memberikannya kepada seseorang dengan tujuan agar tanah tersebut dapat digarap dan memberikan pendapatan bagi negara melalui pajak tanah.  Ada dua metode yang dilakukan negara dalam pemberian tanah kepada warga negaranya, yaitu melalui pemberian secara resmi melalui institusi iqta dan melalui perolehan hak karena menghidupkan tanah yang mati.
1.     Institusi Iqta
Iqta merupakan prosedur dari pemberian tanah kosong yang dilakukan oleh negara.  Dalam sisitem fiskal Islam, istilah itu mengarah pada penganugerahkan tanah kosong sebagai sebuah hadiah dari negara untuk seseorang yang dapat mengembangkan dan mengolah tanah.  Abu Yusuf merekomendasikan bahwa para penguasa boleh memberikan tanah-tanah yang tidak dimiliki siapapun sebagai iqta.
2.     Menghidupkan Tanah yang Mati
Pada prinsipnya tanah yang mati itu milik negara.  Namun, bagi warga kepemilikannya berhubungan dengan usahanya mengelola lahan yang mati tersebut.  Sudah menjadi aturan umum, bahwa siapapun yang menghidupkan lahan tersebut akan menjadi pemiliknya.  Abu Yusuf  mengatakan usaha itu termasuk membajak, menabur dan mengairi tanah.

Metode Penetapan Tarif Kharaj
Ada 2 metode yang dilakukan dalam penilaian Kharaj, yaitu
  1. Metode Misahah adalah metode penghitungan kharaj yang didasarkan pada pengukuran tanah tanpa memperhitungkan tingkat kesuburan tanah, sistem irigasi dan jenis tanaman.
  2. Metode Muqasamah adalah para petani dikenakan pajak dengan menggunakan rasio tertentu dari total produksi dari yang mereka hasilkan.
Menurut Abu Yusuf, sistem misahah, sudah tidak efisien lagi.  Dia menemukan pada masanya ada area-area yang tidak diolah selama ratusan tahun.  Pada situasi ini pajak yang dihasilkan dengan tarif tetap atas hasil panen atau sejumlah tetap dari uang tunai akan membebani pembayar pajak secara berlebihan.  Menurut beliau, tarif pajak tetap dengan basis pengukuran tanah dibenarkan hanya apabila tanah itu subur.

Abu Yusuf memberikan pilihan kebijakan yang lebih sesuai denagn syariah, kemaslahatan umum dan sisitem perpajakan, yaitu dengan merekomendasikan pemberlakuan sistem penilaian pajak tanah dengan metode muqasamah.

Dalam metode penilaian pajak tanah muqasamah, para petani dikenakan pajak dengan menggunakan rasio tertentu dari total produksi dari yang mereka hasilkan.  Rasio ini bervariasi sesuai dengan jenis tanaman, sistem irigasi dan jenis tanah pertanian.

Administrasi Kharaj
Terhadap administrasi keuangan Abu Yusuf mempunyai pandangan berdasarkan pengalaman praktis tentang administrasi pajak dan dampaknya terhadap ekonomi.  Penekanannya pada sifat administrasi pajak berpusat pada penilainnya yang kritis terhadap lembaga Qabalah, yaitu sisitem pengumpulan pajak pertanian dengan cara ada pihak yang menjadi penjamin serta membayar secara lumpsum kepada negara dan sebagai imbalannya penjamin tersebut memperoleh hak untuk mengumpulkan kharaj dari para petani yang menyewa tanah tersebut, tentu dengan pembayaran sewa yang lebih tinggi daripada sewa yang diberikan kepada negara.

Abu Yusuf meminta agar pemerintah segera menghentikan praktik sistem Qabalah tersebut karena pengumpulan pajak yang dilakukan secara langsung, tanpa keberadaan pihak penjamin akan mendatangkan pemasukan yang lebih besar.  Menurutnya, agar dapat memperoleh keuntungan dari kontrak Qabalah, biasanya pihak penjamin mengenakan pajak yang melebihi kemampuan para petani.

Penolakan Abu Yusuf tersebut disebabkan sistem Qabalah bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dan mengabaikan kemampuan membayar.  Dalam mengejar keuntungan, penjamin biasanya memberikan beban tambahan terhadap para petani dengan menerapkan beban ilegal yang melampaui kemampuan mereka.  Dengan menerapkan pandangan analitis dan logika hukumnya, Abu Yusuf berpendapat bahwa perlakuan kasar terhadap para petani dan pengenaan pajak ilegal kepada mereka tidak saja akan merusak produksi pertanian, tetapi juga pendapatan negara yang mayoritas berasal dari Kharaj.
  
Mekanisme Pasar Menurut Abu Yusuf
Fenomena yang terjadi pada masa Abu Yusuf adalah ketika terjadi kelangkaan barang maka harga cenderung akan tinggi, sedangkan pada saat barang tersebut melimpah maka harga cenderung untuk turun atau lebih rendah.  Dengan kata lain pemahaman pada zaman Abu Yusuf tentang hubungan antara harga dan kuantitas hanya memperhatikan kurva demand.  Fenomena inilah yang dikritisi oleh Abu Yusuf.  Beliau membantah bahwa bila persediaan barang sedikit maka harga akan mahal dan bila persediaan barang melimpah maka harga akan murah. Ia menyatakan :
” Kadang-kadang makanan berlimpah, tetapi tetap mahal dan kadang-kadang makanan sangat sedikit tetapi murah.”
                               
Dari pernyataan tersebut tampaknya Abu Yusuf menyangkal pendapat umum mengenai hubungan terbalik antara persediaan barang (supply) dan harga, karena pada kenyataannya harga tidak bergantung pada permintaan saja tetapi juga bergantung pada kekuatan penawaran.  Oleh karena itu peningkatan atau penurunan harga tidak selalu berhubungan dengan peningkatan atau penurunan permintaan atau penurunan atau peningkatan dalam produksi.  Abu Yusuf mengatakan :
 ” Tidak ada batasan tertentu tentang murah dan mahal yang dapat dipastikan.  Hal tersebut ada yang mengaturnya.  Prinsipnya tidak bisa diketahui.  Murah bukan karena melimpahnya makanan, demikian juga mahal tidak disebabkan karena kelangkaan makanan.  Murah dan mahal merupakan ketentuan Allah.”

Kontroversial lain dalam analisis ekonomi Abu Yusuf ialah pada masalah pengendalian harga.  Ia menentang penguasa yang menetapkan harga.  Argumennya didasarkan pada hadis Rasulullah SAW,
”Pada masa Rasulullah Saw, harga-harga melambung tinggi. Para sahabat mengadu kepada Rasulullah dan memintanya agar melakukan penetapan harga.  Rasulullah Saw bersabda tinggi-rendahnya harga barang merupakan bagian dari ketentuan Allah, kita tidak bisa mencampuri urusan dan ketetapan-Nya”

Dilain pihak, Abu Yusuf juga menegaskan bahwa ada beberapa variabel lain yang mempengaruhi, tetapi ia tidak menjelaskannya lebih rinci. Bisa jadi variabel itu adalah pergeseran dalam perintaan atau jumlah uang yang beredar di suatu negara, atau penimbunan dan penahanan barang.




Minggu, 19 September 2010

Polemik, Sistemik atau Tidak Sistemik pada Kasus Century

Pengantar. Dari hasil survei (kompas) publik meyakini bahwa kasus Century tidak berdampak sistemik. Dari hasil survei juga diketahui sebagian besar publik meyakini bahwa kebangkrutan bank century terjadi karena kesalahan dan tindak kriminal yang dilakukan oleh pengelola bank.

Walaupun secara politis drama kasus century telah dianggap ‘selesai’ setelah dilakukan voting di parlemen dan kuatnya loby-loby di tingkat elit parpol, namun dikalangan akademisi dan masyarakat perdebatan mengenai status dari dampak kasus century sebenarnya belumlah tuntas. Masih banyak pertanyaan yang belum terjawab dan terungkap. Sampai sekarang masih saja ada yang beranggapan bahwa kasus century adalah berdampak sistemik terutama dari pemerintah dan kalangan yang dekat dengan pemerintah, demikian juga dengan yang berpendapat sebaliknya sangat meyakini bahwa kasus century tidak berdampak sistemik. Untuk itu menarik untuk dikaji lebih dalam agar kita bisa mendapatkan kebenaran yang lebih baik.

Pengertian Dampak Sistemik
Sistemik diambil dari kata sistem. Kerusakan sistemik berarti kerusakan menyeluruh pada sistem yang ada. Mengacu pada definisi Perppu JPSK, yang dimaksud berdampak sistemik adalah:
“suatu kondisi sulit yang ditimbulkan oleh suatu Bank, Lembaga Keuangan Bukan Bank, dan/atau gejolak pasar keuangan yang apabila tidak diatasi dapat menyebabkan kegagalan sejumlah Bank dan/atau Lembaga Keuangan Bukan Bank lain sehingga menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap sistem keuangan dan perekonomian nasional.”

Dampak sistemik bisa diakibatkan banyak hal, internal maupun eksternal. Hal internal adalah masalah di dalam lembaga bank itu sendiri. Sedangkan eksternal bisa berupa bencana alam, krisis keuangan global maupun serangan teroris. Ini menyebabkan dampak sistemik sulit ditentukan batasannya. Suatu lembaga keuangan dapat dinyatakan berdampak sistemik pada situasi tertentu, namun tidak berdampak sistemik pada situasi berbeda. Perlu professional judgement untuk memutuskan hal tersebut.

Namun, dalam melakukan penilaian dampak sistemik, Bank Indonesia mencoba mengadaptasi sistem penilaian berdasarkan framework MoU Uni Eropa. Framework tersebut melakukan penilaian dampak sistemik dari aspek sistem keuangan, pasar keuangan, sistem pembayaran dan sektor riil.

Selain aspek di atas, Bank Indonesia juga menambahkan satu aspek lagi yaitu aspek psikologi pasar. Penambahan aspek psikologi pasar ini ditambahkan karena merujuk pengalaman Indonesia pada krisis 1997-1998 lalu sehingga perlu dimasukkan untuk mencegah krisis serupa terulang. Pada masa itu, penutupan 16 bank yang hanya menguasai 2,3% dari total aset perbankan berdampak psikologis negatif bagi pasar keuangan. Ini berujung pada penarikan besar-besaran dana nasabah di bank-bank lain sehingga mengakibatkan krisis perbankan dan merambah pada krisis keuangan dan sektor lainnya.

Sebenarnya apa yang terjadi pada kasus century , kalangan yang beranggapan bahwa kasus century berdampak sistemik meyakini bahwa ini semua berawal dari kiris global yang dimulai di Amerika. Berawal dari permasalahan kegagalan pembayaran kredit perumahan (subprime mortgage default) di Amerika Serikat (AS), krisis kemudian menggelembung merusak sistem perbankan bukan hanya di AS namun meluas hingga ke Eropa lalu ke Asia. Secara beruntun menyebabkan effect domino terhadap solvabilitas dan likuiditas lembaga-lembaga keuangan di negara negara tersebut, yang antara lain menyebabkan kebangkrutan ratusan bank, perusahaan sekuritas, reksadana, dana pensiun dan asuransi. Krisis kemudian merambat ke belahan Asia terutama negara-negara seperti Jepang, Korea, China, Singapura, Hongkong, Malaysia, Thailand termasuk Indonesia yang kebetulan sudah lama memiliki surat-surat beharga perusahaan-perusahaan tersebut.

Menurut kalangan yang pro sistemik atau pemerintah berpendapat bahwa sebagai salah satu pelaku pasar dunia, Indonesia tentu juga tak luput dari hantaman krisis. Indikasi krisis di Indonesia ditunjukkan oleh berbagai indikator yaitu antara lain:
1. Cadangan Devisa mengalami penurunan 13% dari USD 59.45 milyar per Juni 2008 menjadi 51.64 milyar per Desember 2008 yang mengindikasikan terjadi capital flight.
2. Rupiah terdepresiasi 30.9% dari Rp 9.840 per Jan 2008 menjadi Rp 12.100 per Nopember 2008 dengan volatilitas yang tinggi.
3. Banking Pressure Index (dikeluarkan oleh Danareksa Research Institute) dan Financial Stability Index (dikeluarkan oleh BI) yang sudah memasuki dalam ambang batas kritis..
4. Terdapat potensi terjadi capital flight yang lebih besar lagi dari para deposan bank karena tidak adanya sistem penjaminan penuh (full guarantee) di Indonesia seperti yang sudah diterapkan di Australia, Singapura, Malaysia, Thailand, Hong Kong, Taiwan dan Korea, disamping Uni Eropa.

Gambaran dan fakta-fakta tersebut di atas, sejak pertengahan tahun 2008, ketegangan dan kecemasan terjadi di mana-mana, investor besar di pasar modal seperti Dana Pensiun, Asuransi, dan Reksa Dana termasuk masyarakat biasa. Psikologis pasar saat itu menusuk dan menekan karena nilai investasi terkuras tajam hampir rata-rata 40 %. Lebih dasyat lagi, pinjaman antar Bank telah berhenti sama sekali dan dapat dikatakan likuiditas di pasar perbankan tidak ada sama sekali. Keadaan ini mendorong Pemerintah melakukan penyesuaian kebijakan secara cepat dan tepat waktu dengan melakukan perubahan-perubahan penilaian aktiva.

Kalangan yang berpendapat berdampak sistemik juga sangat meyakini bahwa saat terjadinya kejatuhan ekonomi di pertengahan 2008, semua pemerintahan dan bank sentral di Amerika, Eropa maupun Asia melakukan berbagai upaya penyelamatan perekonomian negara mereka termasuk di Indonesia. Upaya itu bertumpu pada empat tindakan utama yaitu pemberian likuiditas, tindakan bail-out (penyelamatan) berbagai lembaga keuangan, menurunkan tingkat suku bunga dan memberi stimulus fiskal.

Namun ancaman risiko sistemik yang menjadi alasan pemerintah menyuntikkan dana sebesar Rp 6,7 triliun ke pada Bank Century dibantah mantan pejabat Bank Indonesia. Mantan Deputi senior Gubernur BI Anwar Nasution dan mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah. Hal ini diperkuat dengan argumen bahwa adanya kebiasaan di BI bahwa tiap dua bulan sekali BI mengadakan pertemuan dengan bank-bank penting yang berdampak sistemik. Dalam pertemuan tersebut, Bank Century tidak pernah ikut dan dilibatkan, karena dinilai jauh dari kategori sistemik. Pertemuan dengan bank-bank sistemik atau Systemically Important Bank, jumlahnya ada 15 bank dan menguasai sekitar 85 persen institusi perbankan, itu tidak termasuk Bank Century. 15 bank yang berdampak sistemik itu adalah Bank Mandiri, BRI, BNI, BTN, BCA, BII, Danamon, Panin, Bank Mega, Bank Niaga, Bukopin, Bank Lippo, dan Bank Niaga yang kini bergabung, dan Bank Permata.

Kalau kita mau melihat dengan tajam bahwa sebenarnya Bank Century masuk ke dalam kategori bank kecil yang tidak memiliki peran penting di pasar uang antar bank (PUAB) serta pasar devisa. Maka ada kesalahan indikator sistemik, padahal ini tidak sistemik, diukur dari PUAB dan pasar devisa. Bank Century ini peranannya sedikit di kedua pasar tersebut. Bahkan dana bailout Rp 6,7 triliun cuma terpakai Rp 300 miliar saja untuk membayar PUAB.
Oleh karena itu, seharusnya Bank Century tidak perlu diselamatkan karena banyaknya pelanggaran yang dilakukan. Ini merupakan cermin melemahnya pengawasan BI dan tidak ada kaitannya kolapsnya bank dengan krisis global.

Kalau kita mau cermati lagi, nasabah Bank Century hanya beberapa ribu orang saja dan bukan masyarakat kelas bawah. Dari seluruh nasabah diantaranya ada 40 nasabah kelas kakap yang menguasai sekitar 40 persen aset bank. Ini menunjukkan kegagalan operasional Bank Century hanya berdampak pada sejumlah nasabah saja.

Argumentasi – argumentasi ini mementahkan penegasan pemerintah (Menkeu Sri Mulyani) yang berangapan bahwa keputusan pemerintah dalam membantu bank century adalah karena bank tersebut gagal dan berdampak sistemik bagi perbankan secara keseluruhan.
Penulis juga tidak sependapat dengan keyakinan pemerintah atau BI (Boediono) bahwa krisis 2008 sama dengan 1998 . Kami meyakini bahwa penyebab krisis 2008 berbeda dengan 1998. Menurut penulis, Century memang bank gagal, tapi tidak berdampak sistemik. Sebab krisis global pada saat itu (2008) tidak bisa dibandingkan dengan krisis 1998. Misalnya pada 2008 rupiah hanya turun 20%, sedangkan tahun 1998 turun 600%. Disamping itu juga argumentasi lainnya bahwa krisis 1998 masuk ke Indonesia melalui money market sedangkan krisis 2008 masuk melalui capital market. Hal inilah yang menyebabkan krisis tidak akan berdampak luas kepada masyarakat, karena pada kenyataannya sedikit sekali masyarakat kita yang terjun atau masuk dalam bidang capital market.

Akuntansi Syariah : Sejarah Perkembangan dan Implementasi

Pendahuluan. Tidak dapat dipungkiri bahwa memahami sejarah perkembangan akuntansi syariah menjadi sangat penting dalam memahami perkembangan praktik –praktik dan implementasi akuntansi syariah kedepannya yang sesuai dengan kaidah –kaidah yang dibenarkan dalam Islam (syar’i).

Harahap dalam bukunya Teori Akuntansi (2008) mengatakan bahwa mempelajari sejarah akuntansi ini perlu untuk mengetahui apa yang terjadi pada masa lalu dan dengan pengetahuan ini diharapkan kita akan dapat memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan sehingga dalam menghadapinya kita lebih siap dan mampu mengambil dari peluang yang ada.

Jika kita mengkaji lebih jauh dan mendalam terhadap sumber dari ajaran Islam Al-Qur’an dan Al Hadist maka kita akan menemukan ayat-ayat maupun hadist-hadist yang membuktikan bahwa Islam juga membahas ilmu akuntansi.

Eksistensi akuntansi dalam Islam dapat kita lihat dari berbagai bukti sejarah maupun dari Al-Qur’an. Dalam Surat Al-Baqarah ayat 282, dibahas masalah muamalah. Termasuk di dalamnya kegiatan jual-beli, utang-piutang dan sewa-menyewa. Dari situ dapat kita simpulkan bahwa dalam Islam telah ada perintah untuk melakukan sistem pencatatan yang tekanan utamanya adalah untuk tujuan kebenaran, kepastian, keterbukaan, dan keadilan antara kedua pihak yang memiliki hubungan muamalah. Dalam bahasa akuntansi lebih dikenal dengan accountability.

Bila diperhatikan, budaya dan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat Islam dan barat terdapat perbedaan yang sangat besar. Dalam masyarakat Islam terdapat sistem nilai yang melandasi setiap aktivitas masyarakat, baik pribadi maupun komunal. Hal ini tidak ditemukan dalam kehidupan masyarakat barat. Perbedaan dalam budaya dan sistem nilai ini menghasilkan bentuk masyarakat, praktik, serta pola hubungan yang berbeda pula.

Menurut, Toshikabu Hayashi dalam tesisnya yang berjudul "On Islamic Accounting", Akuntansi Barat (Konvensional) memiliki sifat yang dibuat sendiri oleh kaum kapital dengan berpedoman pada filsafat kapitalisme, sedangkan dalam Akuntansi Islam ada "meta rule" yang berasal diluar konsep akuntansi yang harus dipatuhi, yaitu hukum Syariah yang berasal dari Tuhan yang bukan ciptaan manusia, dan Akuntansi Islam yang sesuai dengan kecenderungan manusia yaitu "hanief" yang menuntut agar perusahaan juga memiliki etika dan tanggung jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban di akhirat, dimana setiap orang akan mempertanggungjawabkan tindakannya di hadapan Tuhan yang memiliki Akuntan sendiri (Rakib dan Atid) yang mencatat semua tindakan manusia bukan saja pada bidang ekonomi, tetapi juga masalah sosial dan pelaksanaan hukum Syariah lainnya. Jadi, dapat kita simpulkan dari uraian di atas, bahwa konsep Akuntansi Islam jauh lebih dahulu dari konsep Akuntansi Konvensional.

Tujuan akuntansi syariah adalah terciptanya peradaban bisnis dengan wawasan humanis, emansipatoris, transendental, dan teologis. Dengan akuntansi syariah, realitas sosial yang dibangun mengandung nilai tauhid dan ketundukan kepada ketentuan Allah swt. Dengan demikian pengembangan akuntansi Islam, nilai-nilai kebenaran, kejujuran dan keadilan harus diaktualisasikan dalam praktik akuntansi.

Secara garis besar, bagaimana nilai-nilai kebenaran membentuk akuntansi syariah dapat diterangkan.
1. Akuntan muslim harus meyakini bahwa Islam sebagai way of life
(Q.S. 3 : 85).
2. Akuntan harus memiliki karakter yang baik, jujur, adil, dan dapat
dipercaya (Q.S. An-Nisa : 135).
3. Akuntan bertanggung jawab melaporkan semua transaksi yang terjadi
(muamalah) dengan benar, jujur serta teliti, sesuai dengan syariah
Islam (Q.S. Al-Baqarah : 7 – 8).
4. Dalam penilaian kekayaan (aset), dapat digunakan harga pasar atau
harga pokok. Keakuratan penilaiannya harus dipersaksikan pihak
yang kompeten dan independen (Al-Baqarah : 282).
5. Standar akuntansi yang diterima umum dapat dilaksanakan
sepanjang tidak bertentangan dengan syariah Islam.
6. Transaksi yang tidak sesuai dengan ketentuan syariah, harus
dihindari, sebab setiap aktivitas usaha harus dinilai halal-haramnya.

Sejarah lahirnya Akuntansi syariah

Akuntansi dalam Islam bukanlah merupakan ilmu yang baru hal ini dapat di lihat dalam peradaban Islam yang pertama sudah memiliki ”Baitul Mal ” yang merupakan lembaga keuangan yang berfungsi sebagai ”Bendara Negara” serta menjamin kesejahteraan sosial. Sejak itu masyarakat muslim telah memiliki jenis akuntansi yang disebut ”Kitabat al-Amwal” (pencatatan Uang) tulisan ini telah muncul sebelum double entry ditemukan oleh Lucas Pacioli di Italia pada tahun 1494.

Dalam sejarah membuktikan bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal system akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih dahulu dari Lucas Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494.

Akuntansi di Kalangan Bangsa Arab Sebelum Islam

Dari studi sejarah peradaban arab, tampak sekali betapa besarnya perhatian bangsa arab pada akuntansi. Hal ini terlihat pada usaha tiap pedagang arab untuk mengetahui dan menghitung barang dagangannya, sejak mulai berangkat sampai pulang kembali. Hitungan ini dilakukan untuk mengetahui perubahan pada keuangannya. Setelah berkembangnya negeri, bertambahnya kabilah-kabilah, masuknya imigran-imigran dari negeri tetangga, dan berkembangnya perdagangan serta timbulnya usaha-usaha perdagangan, semakin kuatlah perhatian bangsa arab terhadap pembukuan dagang untuk menjelaskan utang piutang. Orang-orang yahudipun (pada waktu itu) sudah biasa menyimpan daftar-daftar (faktur) dagang.

Semua telah nampak jelas dalam sejarah peradaban bangsa arab. Jadi, konsep akuntansi dikalangan bangsa arab pada waktu itu dapat dilihat pada pembukuan yang berdasarkan metode penjumlahan statistik yang sesuai dengan aturan-aturan penjumlahan dan pengurangan. Untuk mengerjakan pembukuan ini, ada yang dikerjakan oleh pedagang sendiri dan ada juga yang menyewa akuntan khusus.

Konsep Akuntansi pada Awal Munculnya Islam

Setelah munculnya Islam di semenanjung arab dibawah kepemimpinan Rasulullah saw, serta telah terbentuknya daulah islamiyah di madinah, mulailah perhatian Rasulullah untuk membersihkan muamalah maaliah (keuangan) dari unsur-unsur riba dan dari segala bentuk penipuan, pembodohan, perjudian, pemerasan, monopoli dan segala usaha pengambilan harta orang lain secara batil. Bahkan Rasulullah lebih menekankan pada pencatatan keuangan. Rasulullah mendidik secara khusus beberapa orang sahabat untuk menangani profesi ini dan mereka diberi sebutan khusus, yaitu hafazhatul amwal (pengawas keuangan).

Diantara bukti seriusnya persoalan ini adalah dengan diturunkannya ayat terpanjang didalam Al-Qur’an, yaitu surah al-Baqarah ayat 282. Ayat ini menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan (Kitabah), dasar-dasarnya dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal ini. Para sahabat Rasul dan pemimpin umat islam juga menaruh perhatian yang tinggi terhadap pembukuan (akuntansi) ini, sebagai mana yang terdapat dalam sejarah khulafaur-rasyidin.

Adapun tujuan pembukuan bagi mereka di waktu itu adalah untuk mengetahui utang-utang dan piutang serta keterangan perputaran uang, seperti pemasukan dan pegeluaran. Juga, difungsikan untuk merinci dan menghitung keuntungan dan kerugian, serta untuk menghitung harta keseluruhan untuk menentukan kadar zakat yang harus dikeluarkan oleh masing-masing individu.

Dengan melihat sejarah peradaban Islam diatas, jelaslah bahwa ulama-ulama fiqih telah mengkhususkan masalah keuangan ini kedalam pembahasan khusus yang meliputi kaidah-kaidah, hukum-hukum, dan prosedur-prosedur yang harus di ikuti.

Runtuhnya Khilafah Islamiyah serta tidak adanya perhatian dari pemimpin-pemimpin Islam untuk mensosialisasikan hukum islam, serta dengan dijajahnya kebanyakan nagara Islam oleh negara-negara eropa, telah menimbulkan perubahan yang sangat mendasar disemua segi kehidupan ummat Islam, termasuk di bidang muamalah keuangan. Pada fase ini perkembangan akuntansi didominasi oleh pikiran pikiran barat. Para muslim pun mulai menggunakan sistem akuntansi yang dikembangkan oleh barat.

Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba.

Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara
adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syura ayat 181-184 yang berbunyi:"Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu."

Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam sebuah organisasi yang dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya.

Kebangkitan Baru dalam Akuntansi Islam

Kebangkitan Islam baru telah menjangkau bidang muamalah secara umum, dan bidang-bidang finansial, serta lembaga-lembaga keuangan secara khusus. sekelompok pakar akuntansi muslim telah mengadakan riset dan studi-studi ilmiah tentang akuntansi menurut Islam. Perhatian mereka lebih terkonsentrasi pada beberapa bidang, yaitu bidang riset, pembukuan, seminar atau konverensi, pengajaran dilembaga-lembaga keilmuan dan perguruan tinggi, serta aspek implementasi pragmatis.

Implementasi Akuntansi Syariah

Beberapa aktivitas kehidupan umat Islam yang memerlukan akuntansi, yaitu antara lain (Harahap, 2008)
a. Akuntansi Zakat.
Kewajiban zakat bagi muslim merupakan bukti betapa pentingnya peranan akuntansi bukan saja bagi perusahaan atau lembaga tetapi juga bagi perorangan.
b. Akuntansi Pemerintahan.
Pengelolaan kekayaan negara melalui lembaga terkenal seperti Baitul mal juga memerlukan akuntansi yang lebih teliti karena menyangkut harta masyarakat yang harus dipertanggung –jawabkan, baik kepada rakyat maupun kepada Tuhan.
c. Akuntansi Warisan.
Untuk menghitung pembagian waris, Alquran telah memberikan petunjuk seperti yang terdapat dalam surat Annisa ayat 7 – 14.
d. Akuntansi Efisiensi.
Islam menganjurkan bahkan mewajibkan efisiensi. Tuhan telah menggariskan bahwa pemborosan merupakan perbuatan setan yang harus dihindari.
e. Akuntansi Pertanggungjawaban atau Amanah.
Islam mewajibkan agar dalam bisnis kita berlaku jujur tidak mengambil hak orang lain dan menjaga amanah. Untuk itu perlu laporan pertanggungjawaban.
f. Akuntansi Kesaksian.
Untuk memjaga agar kebenaran tetap terjaga maka diperlukan pembuktian yang benar dari mereka yang mengetahui kebenaran.
g. Akuntansi Syarikat.
Salah satu bentuk usaha yang dianjurkan dalam Islam adalah bentuk Mudharabah atau Musyarakah. Dalam bentuk usaha seperti ini diperlukan sistem yang bisa memberikan informasi serta pertanggung jawaban agar jalannya kerjasama tetap berada dalam koridor keadilan dan kejujuran.

Penutup

Untuk mempelajari sejarah akuntansi kita harus dapat membedakan antara tiga hal, yaitu (Harahap, 2008) :
1. Sejarah lahirnya praktek akuntansi itu dalam kehidupan manusia;
2. Sistem pencatatan akuntansi itu sendiri sebagai pencatatan transaksi dengan sistem pembukuan yang sekarang dikenal dengan double entry accounting system;
3. Sejarah perkembangan ilmu akuntansi itu sendiri, sejak ia merupakan satu bidang ilmu akuntansi umum kemudian berkembang menjadi berbagai sub bidang yang sudah dikenal saat ini.

Dinar dan Dirham, Sebuah Solusi atau Ilusi Terhadap Krisis Keuangan Dunia.?

Pengantar. Belakangan ini isu dan wacana tentang penggunaan dinar(emas) dan Dirham(perak) sebagai mata uang dunia dalam memberikan solusi terhadap krisis keuangan dunia semankin santer dan keras menjadi bahan pembicaraan. Setelah dengan mata telanjang kita dapat melihat kehancuran ekonomi Amerika dengan Dolarnya terjadi dihadapan kita. Tapi apakah mungkin dinar dan dirham dapat menjadi sebuah solusi atau hanya sebuah ilusi dalam menghadapi permasalahan keuangan dunia? Untuk itu alangkah bijaksananya jika kita dapat meletakkan isu tersebut pada proporsi yang tepat.

Dinar dan dirham sebuah alat pembayaran yang sebenarnya telah lama dikenal sejak zaman Romawi dan Persia, kedua negara tersebut merupakan dua negara adidaya yang cukup besar pada masa itu. Dinar terbuat dari emas dan dirham terbuat dari perak
Pada awalnya, dinar merupakan mata uang Romawi, dirham merupakan mata uang Persia. Penggunaan dinar dan dirham diadaptasi oleh kaum muslim di zaman Rasulullah SAW. Kemudian, standar dinar dan dirham ditetapkan oleh Khalifah Umar bin Khattab sehingga menjadi standar sampai saat ini.

Kita ketahui bahwa apa-apa yang ada sebelum Islam namun setelah turunnya Islam tidak dilarang atau bahkan juga digunakan oleh Rasulullah SAW– maka hal itu menjadi ketetapan (Taqrir) Rasulullah SAW yang berarti menjadi bagian dari ajaran Islam itu sendiri, Dinar dan Dirham masuk kategori ini.

Emas dan perak adalah mata uang paling stabil yang pernah dikenal. Sejak masa awal Islam hingga hari ini, nilai mata uang Islam dwilogam itu secara mengejutkan tetap stabil dalam hubungannya dengan barang-barang konsumtif. Seekor ayam pada zaman Nabi Muhammad SAW harganya satu dirham. Hari ini, 1400 tahun kemudiaan, harganya kurang lebih satu dirham. Dengan demikian, selama 1400 tahun, inflasi adalah nol.

Dapatkah kita mengatakan hal yang sama untuk dolar AS atau uang kertas lainnya dalam 25 tahun terakhir? Dalam jangka panjang, mata uang dwilogam telah terbukti menjadi mata uang dunia paling stabil yang pernah dikenal. Mata uang tersebut telah dapat bertahan meskipun terdapat berbagai upaya untuk mentransformasi dinar dan dirham menjadi mata uang simbolik dengan cara menetapkan suatu nilai nominal yang berbeda dengan beratnya.

Bahkan lebih dari itu, dinar dan dirham berpeluang menjadi mata uang dunia. Sebab, dolar AS bukan lagi mata uang yang kuat seperti sebelumnya. Fakta-fakta belakangan ini mengenai nilainya dalam pertukaran internasional secara dramatis telah menunjukkan kelemahan inheren dari mata uang ini. Lihatlah, Amerika Serikat, yang dulu merupakan negara kreditor utama, sekarang telah menjadi negara debitor utama, disamping Brazil, Mexico, Argentina dan Venezuela.

Umar Ibrahim Vadillo (1998) bahkan membuktikan,dolar AS sebenarnya tak bernilai, Mengapa? Karena dunia kini dibanjiri terlalu banyak dolar. Dalam pasar-pasar uang saja terdapat gelembung-gelembung dolar AS yang berjumlah 80 trilyun dolar AS pertahun. Jumlah ini 20 kali lipat melebihi perdagangan dunia yang jumlahnya sekitar 4 trilyun dolar AS pertahun. Gelembung ini akan terus membesar dan membesar hingga suatu saat akan meledak dan pecah dan terjadilah keruntuhan ekonomi global yang luar biasa.

Sebagai perbandingan yang kontras, emas adalah logam yang berharga. Nilainya tak bergantung pada negara manapun, bahkan tak bergantung pada sistem ekonomi manapun. Maka dari itu, tak heran jika kita bisa simpulkan bahwa emas adalah satu-satunya mata uang yang dapat menjamin kestabilan ekonomi dunia. Sekiranya mengharapkan solusi yang terbaik untuk keluar dari permasalahan saat ini dan tidak mengulangi keadaan seperti ini, kuncinya hanya satu yaitu membuang sistem yang rusak tersebut (kapitalisme), dan mengganti dengan sistem yang tepat, yaitu sistem yang berasal dari yang Maha Benar, Sistem Islam.

Sudah saatnya bagi bangsa Indonesia dan umat Islam untuk bersandar pada mata uang yang memiliki tingkat kestabilan yang lebih terjamin tanpa dipengaruhi oleh hukum permintaan dan penawaran uang, bebas dari inflasi, bunga (riba), gharar, gambling, dan unsur-unsur spekulatif. Umat Islam harus segera melepaskan rantai ketergantungan mereka pada negara-negara maju (Dolar). Maka tiada pilihan lain, dan pilihan itu adalah pilihan yang paling tepat, yaitu “back to Dinar and Dirham”, seperti telah digunakan sejak zaman Romawi hingga ambruknya Kekhalifahan Usmaniyah, 1924. Kestabilan uang Dinar (emas) dan Dirham (perak), sebenarnya, juga telah diakui dunia kapitalis. Contohnya, ketika kembali menggunakan uang standar emas pada tahun 1879, tingkat inflasi di Amerika Serikat menurun drastis menyamai tingkat inflasi pada tahun 1861, pada saat uang standar emas digunakan.

Di samping memiliki nilai yang stabil, penggunaan Dinar akan mengurangi ketergantungan keuangan (financial dependency) para penggunanya terhadap Dolar akibat mismanajemen modal. Ini dapat kita lihat dalam dunia perdagangan internasional. Negara yang memiliki necara perdagangan defisit (mayoritas dunia Muslim) berarti jumlah dana dalam negeri lebih banyak mengalir ke luar negara ketimbang dana asing yang masuk ke dalam negara. Dengan kata lain, jumlah import jauh lebih besar daripada jumlah eksport. Terjadinya “capital flight” yang tinggi menyebabkan devisa negara akan turun, kalaupun tidak minus. Bila ini terjadi, dan untuk menutupi defisit budget negara, maka terpaksa harus didanai dengan hutang luar negeri.

Keterpaksaan berhutang jelas telah memerangkapkan negara penghutang terhadap keharusan untuk memenuhi semua persyaratan yang ditetapkan negara donor (pemberi hutang), yang sifatnya sangat mencekik leher negara penghutang. Keharusan menggunakan Dolar ketika membayar hutang, akan menyebabkan nilai uang negara penghutang semakin rendah. Konsekuensinya, negara penghutang berada dipihak yang dirugikan karena harus membayar hutang dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan jumlah hutang sesungguhnya. Ini semata-mata karena ketidakstabilan (appresiasi) nilai Dolar. Namun, kalau berhutang dengan Dinar, maka kapan pun dan dalam keadaan bagaimanapun, nilai Dinar tidak akan berubah.
Oleh karena itu tidak ada alternatif lain bahwa kemampuan Islam untuk menjaga sektor moneter salah satunya dengan diterapkannya dinar dan dirham sebagai alat tukar-menukar. Argumentasi mengganti sistem kapitalis dengan Islam dapat dibuktikan secara normative, historis dan tentunya secara empiris.

Secara Normatif, kemampuan Islam sebagai pusat solusi di segala permasalahan, tentunya termasuk ekonomi didalamnya telah dijamin oleh sang pencipta manusia, alam semesta dan kehidupan ini. Allah Swt berfirman :
Pada hari Ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu sebagai agama bagimu. (QS.Al-Maidah :3)

Adapun secara historis, Zaim Saidi, Direktur Eksekutif PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center) menjelaskan tentang Dinar dan Diram.
“ Uang emas sudah dibuktikan sejak jaman Nabi Muhammad saw sebagai alat tukar yang punya nilai intrinsik murni. Nabi pernah mengutus sahabatnya membeli seekor kambing dengan harga satu dinar. Hari ini, 1500 tahun kemudian, sekeping dinar tetap bisa dapat seekor kambing. Jadi,nilainya tetap. Begitu juga dirham. Satu dirham dari dulu sampai sekarang kira-kira dapat seekor ayam kecil, sedangkan ayam besar dua dirham. Jadi, emas dan perak adalah penyimpanan nilai yang tetap dan dijamin oleh dirinya sendiri.”

Dinar dan dirham dapat digunakan oleh siapa saja. Tidak hanya kaum muslim, non-muslim pun dapat memanfaatkan mata uang ini. Inilah sebenarnya mata uang dunia yang Insya Allah bukan memberikan ilusi tapi benar-benar sebuah solusi untuk kesejahteraan umat manusia dan membawa Rahmatan lil ’alamin. Wallahu ’alam.