Senin, 20 September 2010

Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf

Pengantar  
Sejarah merupakan potret manusia dimasa lampau, ia merupakan laboratorium kehidupan yang sesungguhnya.  Tiap generasi ada zamannya, begitupun sebaliknya, setiap zaman ada generasinya. Dimensi masa depan dengan segala persoalannya dari zaman kapanpun selalu saja sampai kepada manusia berikutnya dalam bentuk kebaikan untuk diteladani maupun sesuatu yang buruk sebagai pelajaran untuk tidak dilakukan lagi.
Menampilkan pemikiran ekonomi para cendekiawan muslim terkemuka akan memberikan kontribusi positif bagi umat Islam, setidaknya dalam dua hal pertama, membantu menemukan berbagai sumber pemikiran ekonomi Islam kontemporer dan kedua memberikan kemungkinan kepada kita untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai perjalanan pemikiran Islam selama ini.
Konsep ekonomi para cendekiawan muslim berakar pada hukum Islam yang bersumber dari alquran dan hadis nabi. Ia merupakan hasil interpretasi dari berbagai ajaran Islam yang bersifat abadi dan universal, mengandung sejumlah perintah dan prinsip umum bagi perilaku individu dan masyarakat serta mendorong umatnya untuk menggunakan kekuatan akal pikiran mereka.

Kajian-kajian terhadap perkembangan sejarah ekonomi Islam merupakan ujian-ujian empirik yang diperlukan bagi setiap gagasan ekonomi.  Ini memiliki arti yang sangat penting, terutama dalam kebijakan ekonomi dan keuangan negara secara umum.

Biografi Abu Yusuf.
Nama lengkapnya Ya’qub ibn Ibrahim ibn Sa’ad ibn Husein ibn al-Anshori.  Beliau lahir di Kufah pada tahun 113 H dan wafat pada tahun 182 H. Abu Yusuf berasal dari suku Bujailah, salah satu suku bangsa Arab.  Keluarganya disebut Anshori karena dari pihak ibu masih mempunyai hubungan dengan kaum Anshar.

Sejak kecil ia telah memiliki minat ilmiah yang tinggi.  Beliau giat belajar dan meriwayatkan hadis.  Banyak ahli hadis memujinya dalam hal periwayatan.  Dalam belajar ia menunjukkan kemampuan yang tinggi dalam menghafal sejumlah hadis.

Kemudian ia tertarik untuk mendalami ilmu fiqih.  Ia mulai belajar fiqih pada Muhamad ibn Abdurahman ibn Abi Laila (seorang ulama dan pejabat hakim di Kufah).  Selanjutnya ia belajar pada Imam Abu Hanifah, pendiri Mazhab Hanafi.  Imam Abu Hanifah sangat mengharapkan agar Abu Yusuf kelak dapat melanjutkan dan menyebarluaskan Mazhab Hanafi ke berbagai dunia Islam.  Setelah Iman Abu Hanifah wafat, Abu Yusuf menggantikan kedudukannya sebagai guru pada perguruan Imam Abu Hanifah.

Berkat bimbingan para gurunya serta ditunjang oleh ketekunan dan kecerdasannya, abu Yusuf tumbuh sebagai seorang alim yang sangat dihormati oleh berbagai kalangan baik ulama, pengusaha maupun masyarakat umum.  Tidak jarang berbagai pendapatnya dijadikan acuan dalam kehidupan bermasyarakat.  Bahkan tidak sedikit orang yang ingin belajar kepadanya.  Diantara tokoh besar yang menjadi muridnya adalah Muhamad bin Al-hasan Al-Syaibani, Ahmad bin Hanbal, Yazid bin Harun Al-Wasithi, Al-Hasan bin Ziyad Al-Lu’lui dan Yahya bin Adam Al-Qarasy.

Pada tahun 166 H Abu Yusuf meninggalkan Kufah dan pergi ke Baghdad.  Di Baghdad ia menemui khalifah Abbasiyah, Al-Mahdi yang langsung mengangkatnya sebagai hakim di Baghdad Timur.  Pada masa khalifah Harun ar-Rasyid, organisasi kehakiman mengalami perubahan.  Pada masa itu jabatan Abu Yusuf naik menjadi ketua para hakim pertama Daulah Abbasiyah. Jabatan ini belum pernah ada sejak Bani Umayyah.
     
Dengan jabatan dan kewenangan itu, ia memiliki kesempatan yang lebih luas untuk memasyarakatkan hukum-hukum mazhab Hanafi dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikannya suatu sistem hukum yang praktis.  Karena pengangkatan hakim di seluruh Daulah Abbasiyah menjadi wewenangnya, maka terbuka kesempatan untuk mengangkat para murid dan pengikut Mazhab Hanafi menjadi hakim di daerah-daerah. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan Mazhab Hanafi berkembang pesat dan tersebar luas di berbagai daerah Islam.
     
Ketika Abu Yusuf  memangku  jabatan sebagai Qadi al Qudah, beliau diminta oleh ar Rasyid untuk menulis buku umum yang akan dijadikan sebagai pedoman dalam administrasi keuangan.  Buku itu kemudian dikenal dengan nama kitab al-Kharaj.  Kitab tersebut dijadikan pedoman penegakan hukum pada masa itu, untuk menghindari kezaliman terhadap rakyat yang disebabkan oleh perbedaan kedudukan atau agama.  Dia telah meletakkan teori ekonomi yang sesuai dengan syariat Islam.  Kitabnya mempunyai peran penting dalam menjadikan ar Rasyid sebagai sosok yang sangat disiplin dalam menggunakan harta negara.
Beberapa karya Abu Yusuf diantaranya adalah:
  1. Kitab al-Asar.  Didalam kitab ini dimuat hadis yang diriwayatkan dari ayah dan gurunya. Ia mengemukakan pendapat gurunya, Imam Abu hanifah, kemudian pendapatnya sendiri dan menjelaskan sebab terjadinya perbedaan pendapat mereka.
  2. Kitab Ikhtilaf Abi Hanifah wa ibn Abi Laila.  Didalamnya dikemukakan pendapat Imam Abu Hanifah dan ibn Abi Laila serta perbedaan pendapat mereka.
  3. Kitab ar-Radd ’ala Siyar al-Auza’i.  Kitab ini memuat perbedaan pendapatnya dengan Abdurahman al-Auzai tentang perang dan jihad.
  4. Kitab al-Kharaj.  Kitab ini merupakan kitab terpopuler dari karya-karyanya.  Didalam kitab ini , ia menuangkan pemikiran fiqihnya dalam berbagai aspek, seperti keuangan negara, pajak tanah, pemerintahan dan musyawarah.

Pemikiran Abu Yusuf
Abu Yusuf merupakan ahli fiqih pertama yang mencurahkan perhatiannya pada permasalahan ekonomi.
Tema yang kerap menjadi sorotan dalam kitabnya terletak pada tanggung jawab ekonomi penguasa terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat, pentingnya keadilan, pemerataan dalam pajak serta kewajiban penguasa untuk menghargai uang publik sebagai amanah yang harus digunakan sebaik-baiknya.

Sebuah studi perbandingan menunjukkan bahwa beberapa abad sebelum keuangan publik dipelajari secara sistematik di Barat, Abu Yusuf telah berbicara tentang kemampuan untuk membayar pajak dan kenyamanan dalam membayar pajak.



Kekuatan utama pemikiran Abu Yusuf adalah dalam masalah keuangan publik.  Dengan daya observasi dan analisisnya yang tinggi,  Abbu Yusuf menguraikan masalah keuangan dan menunjukkan beberapa kebijakan yang harus diadopsi bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.

Keuangan publik menurut Abu Yusuf
Abu Yusuf memiliki sumbangan yang cukup besar bagi kemajuan ekonomi pada masa Harun ar-Rasyid, karena beliau telah meletakkan dasar-dasar kebijakan fiskal yang berbasis kepada keadilan dan maslahah.
Secara umum penerimaan negara dalam daulah Islamiyah yang ditulis oleh beliau dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori utama, yaitu:
1. Ganimah
     Adalah segala sesuatu yang dikuasai oleh kaum muslim dari harta  
     orang kafir melalui peperangan.
2. Sadaqah
    Sebagai salah satu instrumen keuangan negara, zakat tetap menjadi    
    salah satu sumber penerimaan negara pada saat itu.
3. Fay’
     Adalah segala sesuatu yang dikuasai kaum muslim dari orang kafir tanpa peperangan, termasuk harta yang mengikutinya yaitu kharaj tanah tersebut, jizyah perorangan dan Usyur dari perdagangan.
Semua harta Fay’ dan harta-harta yang mengikutinya berupa kharaj, jizyah dan Usyur merupakan harta yang boleh dimanfaatkan oleh kaum muslim dan disimpan dalam Bait al-Mal, semuanya termasuk kategori pajak dan merupakan sumber pendapatan tetap bagi negara.  Harta tersebut dapat dibelanjakan untuk memelihara dan mewujudkan kemaslahatan mereka.


Penerimaan-penerimaan tersebut dapat digunakan untuk membiayai aktivitas pemerintahan.  Akan tetapi, Abu Yusuf tetap memperingatkan khalifah untuk menganggap sumber daya sebagai amanah dari tuhan yang akan diminta pertanggungjawabannya.  Oleh karena itu, efisiensi dalam penggunaan sumber daya merupakan suatu hal yang penting bagi keberlangsungan pemerintahan.

Kharaj (pajak tanah)
Salah satu pemikiran dari Abu Yusuf yang terkenal adalah mengenai  pajak tanah (Kharaj).  Pengenaan pajak atas tanah adalah jenis pajak yang paling tua dan paling banyak dilakukan.[10]  Dimasa lalu, sumber pendapatan utama negara Islam sejak pemerintahan Khalifah Umar sampai pada keruntuhan peradaban umat Islam adalah Kharaj.
Pemikiran Abu Yusuf tentang Kharaj meliputi :
Klasifikasi status tanah
Setelah Rasulullah SAW wafat, terjadi ekspansi negara Islam dengan tunduknya Byzantium, Mesir, Palestina, Syria, tanah Sasnid di Iraq dan Persia.  Abu Yusuf menekankan bahwa pemerintah mempunyai otoritas dan hak untuk membagikan tanah tersebut kepara para pejuang sebagai Ganimah. Namun, lebih baik jika pemerintah memutuskan mengembalikan tanah kepada pemiliknya dan menarik Kharaj dari mereka sebagai pendapatan tetap bagi negara untuk kesejahteraan umat Islam.  Jadi, status tanah tersebut menjadi tanah  kharaj.
     Dibawah ini dijelaskan perpajakan tanah menurut Abu Yusuf yang didalamnya meliputi status dan jenis pajak yang akan dikenakan:
  1. Wilayah lain (di luar Arabia) dibawah kekuasaan Islam, dibagi 3 bagian.
    1. wilayah yang diperoleh melalui peperangan.
    2. Wilayah yang diperoleh melalui perjanjian damai.
    3. Wilayah yang dimiliki oleh muslim di luar Arabia.(Usyr)
  2. Wilayah yang berada dibawah perjanjian damai, dibagi 2 bagian.
    1. Penduduknya yang kemudian masuk Islam (Usyr)
    2. Mereka yang tidak memeluk Islam (Kharaj)
  3. Tanah taklukkan, dibagi 4.
    1. Ketika penduduknya masuk Islam sebelum kekalahan. (Usyur)
    2. Apabila tanah taklukkan tidak dibagikan dan tetap dimiliki (Kharaj)
    3. Jika khalifah membagikan tanah tsb untuk pejuang (Usyur)
    4. Jika ditahan oleh negara (Usyur dan Kharaj)
Kepemilikan Negara
Kebijakan fiskal Islam tentang tanah-tanah yang sangat luas yang ada di jazirah arab yang tidak dimiliki oleh siapapun atau tidak bertuan akan segera diambil oleh negara. Negara sebagai pemilik tanah-tanah kosong memiliki otoritas untuk memberikannya kepada seseorang dengan tujuan agar tanah tersebut dapat digarap dan memberikan pendapatan bagi negara melalui pajak tanah.  Ada dua metode yang dilakukan negara dalam pemberian tanah kepada warga negaranya, yaitu melalui pemberian secara resmi melalui institusi iqta dan melalui perolehan hak karena menghidupkan tanah yang mati.
1.     Institusi Iqta
Iqta merupakan prosedur dari pemberian tanah kosong yang dilakukan oleh negara.  Dalam sisitem fiskal Islam, istilah itu mengarah pada penganugerahkan tanah kosong sebagai sebuah hadiah dari negara untuk seseorang yang dapat mengembangkan dan mengolah tanah.  Abu Yusuf merekomendasikan bahwa para penguasa boleh memberikan tanah-tanah yang tidak dimiliki siapapun sebagai iqta.
2.     Menghidupkan Tanah yang Mati
Pada prinsipnya tanah yang mati itu milik negara.  Namun, bagi warga kepemilikannya berhubungan dengan usahanya mengelola lahan yang mati tersebut.  Sudah menjadi aturan umum, bahwa siapapun yang menghidupkan lahan tersebut akan menjadi pemiliknya.  Abu Yusuf  mengatakan usaha itu termasuk membajak, menabur dan mengairi tanah.

Metode Penetapan Tarif Kharaj
Ada 2 metode yang dilakukan dalam penilaian Kharaj, yaitu
  1. Metode Misahah adalah metode penghitungan kharaj yang didasarkan pada pengukuran tanah tanpa memperhitungkan tingkat kesuburan tanah, sistem irigasi dan jenis tanaman.
  2. Metode Muqasamah adalah para petani dikenakan pajak dengan menggunakan rasio tertentu dari total produksi dari yang mereka hasilkan.
Menurut Abu Yusuf, sistem misahah, sudah tidak efisien lagi.  Dia menemukan pada masanya ada area-area yang tidak diolah selama ratusan tahun.  Pada situasi ini pajak yang dihasilkan dengan tarif tetap atas hasil panen atau sejumlah tetap dari uang tunai akan membebani pembayar pajak secara berlebihan.  Menurut beliau, tarif pajak tetap dengan basis pengukuran tanah dibenarkan hanya apabila tanah itu subur.

Abu Yusuf memberikan pilihan kebijakan yang lebih sesuai denagn syariah, kemaslahatan umum dan sisitem perpajakan, yaitu dengan merekomendasikan pemberlakuan sistem penilaian pajak tanah dengan metode muqasamah.

Dalam metode penilaian pajak tanah muqasamah, para petani dikenakan pajak dengan menggunakan rasio tertentu dari total produksi dari yang mereka hasilkan.  Rasio ini bervariasi sesuai dengan jenis tanaman, sistem irigasi dan jenis tanah pertanian.

Administrasi Kharaj
Terhadap administrasi keuangan Abu Yusuf mempunyai pandangan berdasarkan pengalaman praktis tentang administrasi pajak dan dampaknya terhadap ekonomi.  Penekanannya pada sifat administrasi pajak berpusat pada penilainnya yang kritis terhadap lembaga Qabalah, yaitu sisitem pengumpulan pajak pertanian dengan cara ada pihak yang menjadi penjamin serta membayar secara lumpsum kepada negara dan sebagai imbalannya penjamin tersebut memperoleh hak untuk mengumpulkan kharaj dari para petani yang menyewa tanah tersebut, tentu dengan pembayaran sewa yang lebih tinggi daripada sewa yang diberikan kepada negara.

Abu Yusuf meminta agar pemerintah segera menghentikan praktik sistem Qabalah tersebut karena pengumpulan pajak yang dilakukan secara langsung, tanpa keberadaan pihak penjamin akan mendatangkan pemasukan yang lebih besar.  Menurutnya, agar dapat memperoleh keuntungan dari kontrak Qabalah, biasanya pihak penjamin mengenakan pajak yang melebihi kemampuan para petani.

Penolakan Abu Yusuf tersebut disebabkan sistem Qabalah bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dan mengabaikan kemampuan membayar.  Dalam mengejar keuntungan, penjamin biasanya memberikan beban tambahan terhadap para petani dengan menerapkan beban ilegal yang melampaui kemampuan mereka.  Dengan menerapkan pandangan analitis dan logika hukumnya, Abu Yusuf berpendapat bahwa perlakuan kasar terhadap para petani dan pengenaan pajak ilegal kepada mereka tidak saja akan merusak produksi pertanian, tetapi juga pendapatan negara yang mayoritas berasal dari Kharaj.
  
Mekanisme Pasar Menurut Abu Yusuf
Fenomena yang terjadi pada masa Abu Yusuf adalah ketika terjadi kelangkaan barang maka harga cenderung akan tinggi, sedangkan pada saat barang tersebut melimpah maka harga cenderung untuk turun atau lebih rendah.  Dengan kata lain pemahaman pada zaman Abu Yusuf tentang hubungan antara harga dan kuantitas hanya memperhatikan kurva demand.  Fenomena inilah yang dikritisi oleh Abu Yusuf.  Beliau membantah bahwa bila persediaan barang sedikit maka harga akan mahal dan bila persediaan barang melimpah maka harga akan murah. Ia menyatakan :
” Kadang-kadang makanan berlimpah, tetapi tetap mahal dan kadang-kadang makanan sangat sedikit tetapi murah.”
                               
Dari pernyataan tersebut tampaknya Abu Yusuf menyangkal pendapat umum mengenai hubungan terbalik antara persediaan barang (supply) dan harga, karena pada kenyataannya harga tidak bergantung pada permintaan saja tetapi juga bergantung pada kekuatan penawaran.  Oleh karena itu peningkatan atau penurunan harga tidak selalu berhubungan dengan peningkatan atau penurunan permintaan atau penurunan atau peningkatan dalam produksi.  Abu Yusuf mengatakan :
 ” Tidak ada batasan tertentu tentang murah dan mahal yang dapat dipastikan.  Hal tersebut ada yang mengaturnya.  Prinsipnya tidak bisa diketahui.  Murah bukan karena melimpahnya makanan, demikian juga mahal tidak disebabkan karena kelangkaan makanan.  Murah dan mahal merupakan ketentuan Allah.”

Kontroversial lain dalam analisis ekonomi Abu Yusuf ialah pada masalah pengendalian harga.  Ia menentang penguasa yang menetapkan harga.  Argumennya didasarkan pada hadis Rasulullah SAW,
”Pada masa Rasulullah Saw, harga-harga melambung tinggi. Para sahabat mengadu kepada Rasulullah dan memintanya agar melakukan penetapan harga.  Rasulullah Saw bersabda tinggi-rendahnya harga barang merupakan bagian dari ketentuan Allah, kita tidak bisa mencampuri urusan dan ketetapan-Nya”

Dilain pihak, Abu Yusuf juga menegaskan bahwa ada beberapa variabel lain yang mempengaruhi, tetapi ia tidak menjelaskannya lebih rinci. Bisa jadi variabel itu adalah pergeseran dalam perintaan atau jumlah uang yang beredar di suatu negara, atau penimbunan dan penahanan barang.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar