Pengantar. Belakangan ini isu dan wacana tentang penggunaan dinar(emas) dan Dirham(perak) sebagai mata uang dunia dalam memberikan solusi terhadap krisis keuangan dunia semankin santer dan keras menjadi bahan pembicaraan. Setelah dengan mata telanjang kita dapat melihat kehancuran ekonomi Amerika dengan Dolarnya terjadi dihadapan kita. Tapi apakah mungkin dinar dan dirham dapat menjadi sebuah solusi atau hanya sebuah ilusi dalam menghadapi permasalahan keuangan dunia? Untuk itu alangkah bijaksananya jika kita dapat meletakkan isu tersebut pada proporsi yang tepat.
Dinar dan dirham sebuah alat pembayaran yang sebenarnya telah lama dikenal sejak zaman Romawi dan Persia, kedua negara tersebut merupakan dua negara adidaya yang cukup besar pada masa itu. Dinar terbuat dari emas dan dirham terbuat dari perak
Pada awalnya, dinar merupakan mata uang Romawi, dirham merupakan mata uang Persia. Penggunaan dinar dan dirham diadaptasi oleh kaum muslim di zaman Rasulullah SAW. Kemudian, standar dinar dan dirham ditetapkan oleh Khalifah Umar bin Khattab sehingga menjadi standar sampai saat ini.
Kita ketahui bahwa apa-apa yang ada sebelum Islam namun setelah turunnya Islam tidak dilarang atau bahkan juga digunakan oleh Rasulullah SAW– maka hal itu menjadi ketetapan (Taqrir) Rasulullah SAW yang berarti menjadi bagian dari ajaran Islam itu sendiri, Dinar dan Dirham masuk kategori ini.
Emas dan perak adalah mata uang paling stabil yang pernah dikenal. Sejak masa awal Islam hingga hari ini, nilai mata uang Islam dwilogam itu secara mengejutkan tetap stabil dalam hubungannya dengan barang-barang konsumtif. Seekor ayam pada zaman Nabi Muhammad SAW harganya satu dirham. Hari ini, 1400 tahun kemudiaan, harganya kurang lebih satu dirham. Dengan demikian, selama 1400 tahun, inflasi adalah nol.
Dapatkah kita mengatakan hal yang sama untuk dolar AS atau uang kertas lainnya dalam 25 tahun terakhir? Dalam jangka panjang, mata uang dwilogam telah terbukti menjadi mata uang dunia paling stabil yang pernah dikenal. Mata uang tersebut telah dapat bertahan meskipun terdapat berbagai upaya untuk mentransformasi dinar dan dirham menjadi mata uang simbolik dengan cara menetapkan suatu nilai nominal yang berbeda dengan beratnya.
Bahkan lebih dari itu, dinar dan dirham berpeluang menjadi mata uang dunia. Sebab, dolar AS bukan lagi mata uang yang kuat seperti sebelumnya. Fakta-fakta belakangan ini mengenai nilainya dalam pertukaran internasional secara dramatis telah menunjukkan kelemahan inheren dari mata uang ini. Lihatlah, Amerika Serikat, yang dulu merupakan negara kreditor utama, sekarang telah menjadi negara debitor utama, disamping Brazil, Mexico, Argentina dan Venezuela.
Umar Ibrahim Vadillo (1998) bahkan membuktikan,dolar AS sebenarnya tak bernilai, Mengapa? Karena dunia kini dibanjiri terlalu banyak dolar. Dalam pasar-pasar uang saja terdapat gelembung-gelembung dolar AS yang berjumlah 80 trilyun dolar AS pertahun. Jumlah ini 20 kali lipat melebihi perdagangan dunia yang jumlahnya sekitar 4 trilyun dolar AS pertahun. Gelembung ini akan terus membesar dan membesar hingga suatu saat akan meledak dan pecah dan terjadilah keruntuhan ekonomi global yang luar biasa.
Sebagai perbandingan yang kontras, emas adalah logam yang berharga. Nilainya tak bergantung pada negara manapun, bahkan tak bergantung pada sistem ekonomi manapun. Maka dari itu, tak heran jika kita bisa simpulkan bahwa emas adalah satu-satunya mata uang yang dapat menjamin kestabilan ekonomi dunia. Sekiranya mengharapkan solusi yang terbaik untuk keluar dari permasalahan saat ini dan tidak mengulangi keadaan seperti ini, kuncinya hanya satu yaitu membuang sistem yang rusak tersebut (kapitalisme), dan mengganti dengan sistem yang tepat, yaitu sistem yang berasal dari yang Maha Benar, Sistem Islam.
Sudah saatnya bagi bangsa Indonesia dan umat Islam untuk bersandar pada mata uang yang memiliki tingkat kestabilan yang lebih terjamin tanpa dipengaruhi oleh hukum permintaan dan penawaran uang, bebas dari inflasi, bunga (riba), gharar, gambling, dan unsur-unsur spekulatif. Umat Islam harus segera melepaskan rantai ketergantungan mereka pada negara-negara maju (Dolar). Maka tiada pilihan lain, dan pilihan itu adalah pilihan yang paling tepat, yaitu “back to Dinar and Dirham”, seperti telah digunakan sejak zaman Romawi hingga ambruknya Kekhalifahan Usmaniyah, 1924. Kestabilan uang Dinar (emas) dan Dirham (perak), sebenarnya, juga telah diakui dunia kapitalis. Contohnya, ketika kembali menggunakan uang standar emas pada tahun 1879, tingkat inflasi di Amerika Serikat menurun drastis menyamai tingkat inflasi pada tahun 1861, pada saat uang standar emas digunakan.
Di samping memiliki nilai yang stabil, penggunaan Dinar akan mengurangi ketergantungan keuangan (financial dependency) para penggunanya terhadap Dolar akibat mismanajemen modal. Ini dapat kita lihat dalam dunia perdagangan internasional. Negara yang memiliki necara perdagangan defisit (mayoritas dunia Muslim) berarti jumlah dana dalam negeri lebih banyak mengalir ke luar negara ketimbang dana asing yang masuk ke dalam negara. Dengan kata lain, jumlah import jauh lebih besar daripada jumlah eksport. Terjadinya “capital flight” yang tinggi menyebabkan devisa negara akan turun, kalaupun tidak minus. Bila ini terjadi, dan untuk menutupi defisit budget negara, maka terpaksa harus didanai dengan hutang luar negeri.
Keterpaksaan berhutang jelas telah memerangkapkan negara penghutang terhadap keharusan untuk memenuhi semua persyaratan yang ditetapkan negara donor (pemberi hutang), yang sifatnya sangat mencekik leher negara penghutang. Keharusan menggunakan Dolar ketika membayar hutang, akan menyebabkan nilai uang negara penghutang semakin rendah. Konsekuensinya, negara penghutang berada dipihak yang dirugikan karena harus membayar hutang dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan jumlah hutang sesungguhnya. Ini semata-mata karena ketidakstabilan (appresiasi) nilai Dolar. Namun, kalau berhutang dengan Dinar, maka kapan pun dan dalam keadaan bagaimanapun, nilai Dinar tidak akan berubah.
Oleh karena itu tidak ada alternatif lain bahwa kemampuan Islam untuk menjaga sektor moneter salah satunya dengan diterapkannya dinar dan dirham sebagai alat tukar-menukar. Argumentasi mengganti sistem kapitalis dengan Islam dapat dibuktikan secara normative, historis dan tentunya secara empiris.
Secara Normatif, kemampuan Islam sebagai pusat solusi di segala permasalahan, tentunya termasuk ekonomi didalamnya telah dijamin oleh sang pencipta manusia, alam semesta dan kehidupan ini. Allah Swt berfirman :
Pada hari Ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu sebagai agama bagimu. (QS.Al-Maidah :3)
Adapun secara historis, Zaim Saidi, Direktur Eksekutif PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center) menjelaskan tentang Dinar dan Diram.
“ Uang emas sudah dibuktikan sejak jaman Nabi Muhammad saw sebagai alat tukar yang punya nilai intrinsik murni. Nabi pernah mengutus sahabatnya membeli seekor kambing dengan harga satu dinar. Hari ini, 1500 tahun kemudian, sekeping dinar tetap bisa dapat seekor kambing. Jadi,nilainya tetap. Begitu juga dirham. Satu dirham dari dulu sampai sekarang kira-kira dapat seekor ayam kecil, sedangkan ayam besar dua dirham. Jadi, emas dan perak adalah penyimpanan nilai yang tetap dan dijamin oleh dirinya sendiri.”
Dinar dan dirham dapat digunakan oleh siapa saja. Tidak hanya kaum muslim, non-muslim pun dapat memanfaatkan mata uang ini. Inilah sebenarnya mata uang dunia yang Insya Allah bukan memberikan ilusi tapi benar-benar sebuah solusi untuk kesejahteraan umat manusia dan membawa Rahmatan lil ’alamin. Wallahu ’alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar